Published November 08, 2007 by with 1 comment

DINASTI IDRISIYAH DAN AGLABIYAH (Pembentukan, Kemajuan, dan Kemunduran)

DINASTI IDRISIYAH (788-922)
1. Sejarah Terbentuknya
Dinasti Idrisiyah merupakan dinasti pertama yang beraliran Syi’ah, terutama di daerah Magrib (Maroko) dan Afrika Utara. Sebelum Dinasti Idrisiyah berkuasa, daerah tersebut selalu didominasi oleh aliran Khawarij.
Nama Dinasti Idrisiyah adalah diambil dari nama pendirinya, Idris bin Abdullah bin al-Hasan, seorang pengikut golongan Syi’ah yang Alawiy, cucu al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib, didirikan pada tahun 172 H/789 M.
Seperti diketahui bahwa salah satu faktor yang mendukung berdirinya Dinasti Abbasiyah adalah keberhasilan mereka membentuk solidaritas (‘a¡abiyyah) dari berbagai kalangan yang merasakan diri senasib dalam ketertindasan melawan Dinasti Umaiyyah . Di antara kelompok yang bersekutu dengan bani Abbas dan membantu mereka untuk menumbangkan Dinasti Umaiyyah adalah kelompok Syi’ah dan Alawiyyun.
Namun pada perkembangan selanjutnya, Bani Abbas mengkhianati mereka, bahkan cenderung memusuhi mereka, utamanya ketika al-Hadi menduduki tahta kekhalifahan (785). Al-Hadi menganut politik yang bertolak belakang dengan bapaknya, al-Mansur, yang banyak memperhatikan dan menarik simpati golongan non Abbasiyah, utamanya dari kalangan Umaiyyah dan Syi’ah. Al-Hadi bahkan mengejar-ngejar, menangkapi dan memenjarakan para petinggi-petinggi Umaiyyah dan Syi’ah dengan tuduhan tidak loyal. Kondisi tersebut membuat kelompok-kelompok yang dulunya pro terhadap Bani Abbas kecewa dan menjadi kelompok oposisi, bahkan berusaha melakukan pemberontakan.
Idris telah ikut dalam pemberontakan yang dilakukan oleh kalangan Alawiyah dan Syi`ah terhadap Musa al-Hadi, khalifah Abbasiyah yang berkuasa pada saat itu. Dalam suatu pertempuran, kelompok Syi’ah yang dipimpin oleh saudara sepupu Idris, al-Husain bin Ali al-Hasan, dikalahkan oleh tentara Abbasiyah dan terbunuh di suatu tempat di dekat Mekah, pada tanggal 3 Zulhijjah 169 H/11 Juni 786 M.
Setelah peristiwa tersebut, Idris menghilang beberapa saat, dan pada akhirnya muncul di Mesir, kemudian dari sana berhasil melarikan diri ke Maroko. Di Maroko ia disambut oleh Ishaq bin Muhammad, pemimpin salah satu suku dari bangsa Barbar, yaitu suku Aurabah. Pada bulan Ramadan 172 H, atas kehendak Ishaq, Idris dipilih menjadi pemimpin suku Aurabah, kemudian diikuti oleh kabilah-kabilah lain yang menghuni kawasan yang sekarang dikenal dengan Marakisy.
Nampaknya kesediaan kalangan Barbar menerima Idris bin Abdullah – yang beraliran Syi’ah (Alawiyah) – adalah lebih banyak dipengaruhi oleh faktor politik dibanding faktor agama (aliran), karena terbukti bahwa suku-suku tersebut dulunya adalah penganut aliran Khawarij. Akan tetapi karena kondisi intern Barbar terjadi perpecahan, artinya tidak ada orang yang berhasil mempersatukan mereka. Masing-masing suku ingin tampil sebagai pemimpin, sehingga mereka menerimanya sebagai pemersatu.
Selain faktor tersebut, yang sangat menentukan adalah kemampuan Idris meyakinkan orang-orang Barbar bahwa dirinya merupakan keturunan Ali bin Abu Thalib.
Setelah terpilih jadi pemimpin bangsa Barbar, Idris kemudian melakukan penyerangan terahadap kabilah-kabilah Yahudi, Nasrani, dan paganisme yang mendiami daerah Tamisna, dan berhasil mengalahkan kabilah-kabilah tersebut dengan mudah. Kemudian sekitar tahun 173 atau 174 H (789 atau 790 M) dia melakukan invasi ke arah timur, dimana berhasil menundukkan kota Tilmisan (Agadir) yang pada saat itu dipimpin oleh Muhammad bin Khayir. Idris kemudian menetap beberapa waktu di Tilmisan, dan pada bulan Safar 174 H, ia membangun sebuah masjid, dimana mimbar masjid tersebut yang di atasnya terukir namanya masih ada hingga zaman Ibn Khaldun.
Namun ketika ia kembali ke ibu kota, Walily (Volubilis), ia diracuni oleh seorang yang bernama Sulaiman al-Syammakh. Konon peristiwa itu atas perintah Khalifah Harun al-Rasyid, pada awal Rabi‘ al-¤±niy 177 H/16 Juli 793 M.
Dengan berdirinya Dinasti Idrisiyah di Afrika Utara, maka pusat kekuasaan Islam telah terbagi kepada tiga kawasan: 1. Bani Umaiyyah di Spanyol, 2. Syi’ah di Magrib (Maroko), dan 3. Abbasiyah di daerah sisanya di Timur Tengah.
2. Masa Kemajuannya
Kurang lebih satu setengah abad Dinasti Idrisiyah berkuasa di Maroko, dan telah dipimpin oleh sembilan orang raja, yaitu Idris I (788-793), Idris II (793-828), Muhammad al-Muntasir (828-836), Ali I (836-849), Yahya I, Yahya II, Ali II, dan Yahya III (849-904), Yahya IV (904-922).
Masa kemajuan Dinasti Idrisiyah mulai tercapai pada masa pemerintahan Idris I dan Idris II. Keberhasilan yang dicapai pada masa itu adalah penyebaran Islam ke seluruh masyarakat dengan mudah. Di samping itu, pertahanan dan keamanan cukup kuat, terbukti adanya Idris dan pasukannya dapat menahan pasukan Romawi dan mempertahankan wilayahnya.
Setelah Idris II meninggal pada tahun 828, ia meninggalkan pemerintahan yang stabil dan telah menguasai sebagian besar muslim Barbar. Tiga raja berikutnya, Muhammad, Ali I, dan Yahya I adalah penguasa-penguasa yang kuat, yang lebih memapankan pemerintahan Idrisiyah. Sepanjang pemerintahan Yahya I, Fez telah mencapai puncak kemakmurannya dengan menjadi salah satu pusat perdagangan yang menghubungkan antara Afrika dan Eropa. Selama pemerintahan Yahya yang damai, banyak imigran dari Andalusia dan daerah Afrika lainnya berdatangan ke Fez. Kota ini lalu berkembang dengan pesat, baik dari segi penduduk maupun pembangunan gedung-gedungnya. Di antara gedung yang dibangun pada masa itu ialah dua masjid, Qarawiyyin dan Andalusia, yang didirikan pada tahun 859 M. Kota Fez kemudian dianggap sebagai kota suci, tempat tinggal kaum syorfah (kaum syurafa’ atau orang-orang mulia) keturunan istimewa Nabi.
Ira M. Lapidus mengatakan, bahwa meskipun wilayah pemerintahannya relatif kecil, Dinasti Idrisiyah merupakan negara Maroko-Islam yang pertama, dan merupakan pusat perjuangan Islam yang aktif.
Yahya I bin Muhammad meninggal pada tahun 863 M, ia kemudian digantikan oleh putranya, Yahya II, yang pemerintahannya kurang sukses. Pada masanya mulai terjadi disintegrasi dengan terjadinya pemberontakan dari bangsa Barbar yang memaksanya untuk lari bersembunyi. Dari sinilah awal kemunduran Dinasti Idrisiyah.
Kemajuan yang pernah dicapai oleh Dinasti Idrisiyah dapat mengangkat citra umat Islam pada umumnya, dan Afrika khususnya, dan telah memperlihatkan bahwa manajemen pemerintahan sangat penting untuk mengatur negara dan wilayah kekuasaan. Hal itulah yang dilakukan oleh Idris I sampai pada Yahya I, sehingga kemajuan itu dapat dicapai.
Namun setelah itu, saat kepemimpinan beralih, maka kondisinya berbeda akibat tipe pemimpin berikutnya tidak belajar dari sejarah pendahulunya, sehingga dalam sejarah dicatat bahwa setelah Yahya I, Dinasti Idrisiyah mengalami kemunduran.
3. Kemundurannya
Salah satu penyebab kemunduran Dinasti Idrisiyah adalah karena kelemahan pemerintahnya yang tidak dapat dipungkiri. Kelemahan itu kelihatan pada ketidakmampuan mengontrol daerah-daerah pedalaman dan pesisir. Akibat dari kelemahan itu, Dinasti Idrisiyah sama sekali tidak mampu, baik secara geografis maupun ideologis untuk memperlebar wilayah perbatasan yang telah dirintis dan dikoordinasi oleh Idris I.
Seperti telah dijelaskan, bahwa Yahya II tidak mampu melanjutkan kesuksesan para pendahulunya. Pemberontak Barbar telah memaksanya untuk melarikan diri ke Andalusia sampai akhir hayatnya. Setelah kematian Yahya II, keadaan pemerintahan cenderung anarki dengan terjadinya perebutan kekuasaan antara anak cucu Idris. Kondisi chaos ini diperparah dengan terjadinya pemberontakan kaum Khawarij melawan pemerintahan Idrisiyah yang Syi’ah. Perdagangan menjadi berkurang, kemakmuran mengalami decline, kemelaratan merajalela di mana-mana. Selanjutnya, pada tahun 881 sebuah gempa bumi yang dahsyat melanda negara, menghancurkan bangunan-bangunan dan mengubur banyak penduduk di bawah puing-puing bangunan, sementara itu ketakutan dan penyakit melanda desa-desa. Saat itu sungguh menjadi era miring bagi pemerintahan Dinasti Idrisiyah, yang mana kondisi politik sangat membingungkan, sehingga para sejarahwan pun sulit menentukan tahun yang pasti pada pemerintahan Idrisiyah antara Yahya I dan Yahya IV.
Pada tahun 904, Yahya IV memproklamirkan diri sebagai raja dan imam yang secara berangsur-angsur memulihkan kekuasaan (rezim) Idrisiyah. Selama masa pemerintahannya, keadaan relatif stabil dan keamanan berhasil dipulihkan di Afrika Utara, perdagangan kembali maju dan kemakmuran mulai tumbuh kembali di Fez. Namun demikian kemakmuran tersebut hanya berlangsung singkat, dengan kemunculan Dinasti Fatimiyah, gerakan Syi’ah (keturunan Ali) yang lain, di pusat Afrika Utara, di bawah pimpinan Ubaydillah al-Mahdi. Pada tahun 919, hanya lima belas tahun setelah pelantikannya sebagai pemimpin rezim Idrisiyah, Yahya IV harus berperang melawan tetangganya, Dinasti Fatimiyah. Menyadari posisinya yang lemah, Yahya IV memilih untuk mengadakan perundingan damai dengan Fatimiyah, yang telah menyetujui dirinya untuk melanjutkan pemerintahannya di Fez, tapi dengan catatan harus membayar upeti kepada khalifah Fatimiyah. Pada tahun 922, tiba-tiba Fatimiyah memutuskan untuk memecat Yahya IV dan memasukkan wilayah Magrib kedalam kekuasaannya, yang mengakhiri masa kekuasaan Dinasti Idrisiyah yang telah memerintah di Afrika Utara selama sekitar seratus empat puluh tahun.
Juga di antara faktor yang membawa kepada surutnya kekuasaan Dinasti Idrisiyah adalah setelah Khalifah Harun al-Rasyid mengangkat Ibrahim bin Aglab (800-811) – pendiri bani Taglib (Dinasti Aglabiyah) – sebagai gubernur Afrika Utara yang beraliran Sunni. Ibrahim bin Aglab sengaja diangkat oleh Khalifah Harun al-Rasyid untuk membendung bahaya Dinasti Idrisiyah dan kaum Khawarij, dan selanjutnya akan dibahas pada bab berikutnya.

DINASTI AGLABIYAH (BANI TAGLIB) (800-909)
1. Sejarah Terbentuknya
Dinasti Aglabiyah didirikan oleh Ibrahim bin Aglab yang diberi otonomi wilayah di Ifriqiyyah (yang sekarang disebut Tunisia dan propinsi Tripoli – Libiya), oleh Khalifah Harun al-Rasyid. Tujuan didirikannya ialah antara lain untuk meredam meluasnya kekuasaan Rustamiyah yang Khawarij agar tidak meluas ke Timur. Karena jauhnya wilayah Aglab dari pusat Abbasiyah, maka kekuatannya betambah besar sehingga tidak terkontrol lagi oleh pusat. Para penguasanya adalah keturunan al-Aglab atau bani Taglib, seorang Khurasan yang menjadi perwira dalam tentara Dinasti Abbasiyah.
Ketika Bagdad diperintah oleh Khalifah Harun al-Rasyid, di bagian barat Afrika Utara terdapat dua bahaya besar yang mengancam kewibawaannya. Pertama, dari Dinasti Idrisiyah yang beraliran Syi’ah, dan kedua dari golongan Khawarij. Adanya kedua ancaman tersebut telah mendorong al-Rasyid menempatkan balatentaranya di Ifriqiyah di bawah pimpinan Ibrahim bin al-Aglab.
Wilson menyebutkan, bahwa ketika Idris II dari Maroko masih kecil dan didukung oleh bangsa Barbar, Khalifah Harun al-Rasyid memerintahkan untuk mengangkat seorang perwira ulung, Ibrahim bin Aglab, sebagai gubernur di Afrika Utara, dan memberikan kepadanya kebebasan dalam mengambil tindakan terhadap setiap pemberontakan Barbar yang berkobar. Konon, al-Aglab menyetujui perintah Khalifah al-Rasyid hanya setelah khalifah memberikan jaminan hak hereditary (warisan kekuasaan pada keturunannya) terhadap Afrika Utara. Demikian, dengan dukungan kuasa otonomi yang diberikan kepadanya, Ibrahim al-Aglab berangkat ke Qayrawan untuk membangun dinasti baru, Dinasti Aglabiyah, dan menjadikan Tunis sebagai pusat pemerintahannya.
Selama masa kekuasaannya, Dinasti Aglabiyah telah diperintah oleh sebelas raja, sebagai berikut:
1. Ibrahim I 800 – 811
2. Abdullah I 811 – 816
3. Ziyadatullah I 816 – 837
4. Abu Iqal 837 – 840
5. Muhammad I 840 – 856
6. Ahmad 856 – 863
7. Ziyadatullah II 863 – 864
8. Muhammad II 864 – 874
9. Ibrahim II 874 – 902
10. Abdullah II 902 – 903
11. Ziyadatullah III 903 – 909
2. Masa Perkembangan dan Kemajuannya
Meskipun tujuan utama pengangkatan Ibrahim al-Aglab di Afrika Utara adalah untuk memadamkan pemberontakan Dinasti Idrisiyah di Maroko, namun pada kenyataannya, baik Ibrahim I sendiri maupun anak cucunya tidak seorang pun di antara mereka yang sempat berkonfrontasi langsung dengan kubu Idrisiyah di bagian barat. Karena baru saja Ibrahim I menginjakkan kakinya di Qayrawan, tiba-tiba meletus pemberontakan pendudk Tripoli (Libiya) terhadap gubernur mereka. Pada tahun 804 Ibrahim berangkat untuk memadamkan pemberontakan orang-orang Libiya tersebut. Dan tidak lama berselang, timbul lagi kekacauan baru dengan meletusnya pemberontakan bangsa Barbar secara meluas di berbagai daerah di Afrika Utara. Kekuatan Ibrahim I terpaksa lebih banyak dipusatkan untuk menumpas mereka, dan tidak sempat mencoba menggulingkan pemerintahan Idrisiyah. Pada akhirnya, hanya beberapa waktu sebelum dia wafat, Ibrahim I berhasil membuat Tripoli dan sebagian besar masyarakat Barbar untuk tunduk di bawah kontrolnya. Pada tahun 811, ketika ia berada di puncak kekuatan dan prestasinya, ia wafat setelah berkuasa hanya sebelas tahun.
Ia kemudian digantikan oleh putranya, Abdullah I (811-816), namun Abdullah tidaklah sekuat dan seadil bapaknya. Dia telah mengambil tindakan keras dalam pengumpulan pajak, tidak mengindahkan nasehat para penasehat hukumnya dan para ulama. Dia kemudian terbunuh secara misterius setelah hanya memerintah selama lima tahun.
Ziyadatullah I (816-837) mewarisi saudaranya, Abdullah I, sebagai penguasa Afrika Utara. Dia orangnya lebih cenderung memperhatikan nasehat para penasehatnya sebagaimana leluhurnya, dan karakteristik pemerintahannya relatif lebih stabil. Pada tahun 825 sebuah pemberontakan terjadi dipelopori oleh Mansur yang berhasil menghimpun beberapa pengikut dan mengancam Qayrawan. Namun, pada tahun berikutnya Ziyadatullah I berhasil mengalahkan Mansur, yang kemudian meninggal tidak lama setelah di penjara.
Kemakmuran yang dicapai oleh rakyat di bawah pemerintahan Ziyadatullah I, ditambah dengan tidak adanya perbedaan antara orang-orang Arab dan orang-orang Barbar, telah mendorong mereka untuk mencari tanah baru. Faktor ini turut membangkitkan semangat Bani Aglab untuk menduduki Sicilia dan sebagian besar Italia Selatan selama abad ke-9.
Pada tahun 827 Ziyadatullah menyerang Sicilia, di mana dia berhasil melumpuhkan pasukan Bizantium di awal 828 di Syracuse, dan selanjutnya tahun 830 di Palermo. Meskipun dengan berbagai kemenangan yang diraihnya di kota-kota tersebut, namun Aglabiyah tidak mampu mempertahankan jalur suplai mereka dengan Qayrawan, dan secara berangsur-angsur dengan terpaksa mereka melepaskan pendudukan mereka atas kota-kota tersebut.
Penaklukan dan pendudukan Aglabiyah terhadap Sicilia telah membentuk suatu pusat penting bagi penyebaran peradaban Islam ke Eropa-Kristen. Bahkan renaisans di Italia terjadi karena transmisi ilmu pengetahuan melalui pulau ini. Para penguasa Dinasti Aglabiyah juga merupakan pembangun-pembangun yang antusias. Misalnya Ziyadatullah I membangun kembali Masjid Raya Qayrawan dan Ahmad membangun Masjid Raya Tunis. Di samping itu, berbagai pekerjaan di bidang pertanian dan irigasi juga dilakukan, terutama di daerah-daerah selatan yang kurang subur.
Setelah Ziyadatullah I wafat pada tahun 837, lima penguasa Aglabiyah berikutnya secara berturut-turut berganti dengan cepat. Perselisihan internal dan pemberontakan lokal terus terjadi sampai pada masa Ibrahim I yang memangku jabatan pada tahun 874. Dia punya karakter yang lebih tegas dan murah hati, meluangkan banyak waktunya untuk mendengarkan keluhan-keluhan rakyatnya dan berusaha meringankan penderitaan mereka. Dia dengan murah hati memberikan sumbangan-sumbangan dan bantuan finansial yang tidak terikat kepada yang memerlukan. Oleh karena itu, masyarakat umum senantiasa berlomba-lomba memberi dukungan kepadanya selama dalam masa kritis.
Sepanjang pemerintahan Ibrahim II, seorang putra Ibn Tulun dari Mesir yang bernama al-Abbas berusaha mengambil alih kekuasaan bapaknya dan membangun kerajaan untuk dirinya sendiri di Afrika Utara. Konon, al-Abbas telah mengirim pesan kepada Ibrahim II pada tahun 880, memberitahukan kepada Ibrahim bahwa dirinya telah ditunjuk sebagai gubernur di Afrika Utara dan meminta Ibrahim II untuk mengosongkan posisinya dengan cepat. Setelah mendengar pesan tersebut, Ibrahim II mengirim pasukan untuk melawan al-Abbas ibn Tulun, di mana dalam waktu yang sama al-Abbas juga telah maju mendekati Qayrawan. Dalam pertempuran tersebut, al-Abbas berhasil dikalahkannya dan dipaksa untuk mundur ke Barqa. Kemenangan Aglabiyah ini semakin memperkokoh wibawa Ibrahim II di mata rakyatnya, dan terus memerintah Qayrawan sampai pada tahun 902.
3. Masa Kemunduran Dinasti Aglabiyah
Posisi Dinasti Aglabiyah di Ifriqiyah semakin menurun di akhir abad ke-9, disusul dengan semakin menguatnya propaganda Syi’af Fatimiyah.
Ibrahim II lalu digantikan oleh putranya, Abdullah II, yang telah dikhianati oleh para pembantunya sendiri setelah hanya memerintah selama enam bulan. Abdullah II kemudian digantikan oleh Ziyadatullah III, penguasa terakhir Dinasti Aglabiyah, untuk memerintah Qayrawan. Sepanjang masa pemerintahannya, Dinasti Fatimiyah telah memulai propagandanya, yang mana pengaruhnya telah meluas ke mana-mana meliputi semua penduduk di Afrika Utara. Memasuki tahun 904, Abu Abdullah, seorang pelopor pergerakan Dinasti Fatimiyah di Afrika, berhasil menghimpun pengikut dalam jumlah besar – yang cukup untuk merebut sebagian besar kota-kota yang berada di bawah kekuasaan Aglabiyah. Berawal dari sini, dia terus maju ke arah Qayrawan pada tahun 909, dan memaksa Ziyadatullah III untuk melarikan diri dari kota.
Tidak lama setelah pendudukan Qayrawan, pemimpin gerakan Fatimiyah, Ubaydullah al-Mahdi, tiba di ibu kota dan memproklamirkan awal berdirinya Kekhalifahan Syi’ah, yang juga menandakan akhir keruntuhan dari Dinasti Aglabiyah.
Sejak itu, Ifriqiyah dikuasai oleh orang-orang Syi’ah yang pada masa selanjutnya membentuk Dinasti Fatimiyah.

Download makalah lengkapnya...

1 komentar:

Silakan titip komentar anda..