Tampilkan postingan dengan label Makalah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Makalah. Tampilkan semua postingan
Published Juni 08, 2014 by with 0 comment

Menjemput keistimewaan bulan Sya'ban

Dalam riwayat dikatakan,

رجب شهر الله, وشعبان شهري, ورمضان شهر أمتى. فمن صام من رجب يومين. فله من الأجر ضعفان, ووزن كل ضعف مثل جبال الدنيا, ثم ذكر أجر من صام أربعة أيام, ومن صام ستة أيام, ثم سبعة أيام ثم ثمانية أيام, ثم هكذا: إلى خمسة عشر يوما منه.

Rajab adalah bulan Allah, Sya`ban bulan Saya (Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam), sedangkan Ramadhan bulan ummat Saya. Barang siapa berpuasa di bulan Rajab dua hari, baginya pahala dua kali lipat, timbangan setiap lipatan itu sama dengan gunung gunung yang ada di dunia, kemudian disebutkan pahala bagi orang yang berpuasa empat hari, enam hari, tujuah hari, delapan hari, dan seterusnya, sampai disebutkan ganjaran bagi orang berpuasa lima belas hari.

Bulan Rajab telah berlalu dan bulan Ramadhan belum tiba. sekarang kita berada pada bulan Sya'ban, dimana bulan ini memiliki keutamaan yang istimewa.

1. Menurut Imam Nawawi, pada hari nisfu Sya'ban (hari ke lima belas) tahun kedua Hijriyah, telah berlaku pertukaran kiblat umat Islam yaitu dari Masjid Al-Aqsa ke Kab'bah di Masjid Al-Haram.


2. Bulan Sya'ban merupakan bulan dimana amal-amal kita diangkat untuk dihadapkan kepada Tuhan.
Hal ini berdasarkan hadits riwayat An Nasai dan Abu Dawud dan ditashih oleh Ibnu Huzaimah dari Usamah bin Zaid, katanya,
"Aku berkata, Wahai Rasulullah, aku tidak melihat tuan berpuasa dari satu bulan dari beberapa bulan seperti puasa tuan di Bulan Sya'ban."
Beliau menjawab, "Itu adalah bulan yang dilupakan oleh manusia antara bulan Rajab dan Ramadan. Bulan Sya'ban itu bulan amal-amal diangkat ke hadapan Tuhan semesta alam. Oleh karena itu, aku senang apabila amalku diangkat, sedangkan aku berpuasa."

3. Bulan Membaca Al-Qur'an.
Diriwayarkan dari Anas ra, berkata,
"Adalah orang-orang muslim apabila masuk bulan Sya'ban, mereka membuka mushaf-mushaf Al Qur'an dan membacanya, mengeluarkan zakat dari harta mereka untuk memberi kekuatan kepada orang-orang yang lemah dan orang-orang miskin untuk melakukan puasa Ramadan."

Berkata Salamah bin Suhail,
"Telah dikatakan bahwa bulan Sya'ban itu merupakan bulannya para qurra' (pembaca Al Qur'an)."

Dan adalah Habib bin Abi Tsabit apabila masuk bulan Sya'ban dia berkata,
"Inilah bulannya para qurra'."

Dari 'Amr bin Qais Al-Mula'i apabila masuk bulan Sya'ban dia menutup tokonya dan meluangkan waktu (khusus) untuk membaca Al-Qur'an."

4. Bulannya Rasulullah SAW.
Hal ini berdasarkan sabda baliau yang berbunyi,
"Bulan Rajab itu adalah bulan Allah, bulan Sya'ban adalah bulanku dan bulan Ramadan adalah bulannya umatku."

Rasulullah SAW pada setiap setiap malam tanggal 15 Sya'ban selalu melakukan shalat malam dengan sangat lama, menunaikan kewajiban bersyukur kepada Allah SWT, sehingga Al-Hafidh Al-Baihaqi dalam kitab Musnadnya meriwayatkan hadits dari A'isyah ra katanya,
"Rasulullah SAW pada suatu malam bangun, lalu melakukan shalat. Beliau memperlama sujud, sehingga aku mengira beliau telah wafat. Setelah aku melihat yang demikian itu, aku bangun sehingga menggerakkan ibu jari beliau, dan ibu jari beliau bergerak."

5. Pada setiap malam nisfu Sya'ban, Rasulullah SAW selalu mendoakan umatnya, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.
Dalam hal ini, Sayyidina Ali ra menceritakan sebagai berikut,
"Susungguhnya Rasulullah SAW keluar pada malam ini (malam nisfu sya'ban) ke Baqi' (kuburan dekat masjid Nabawi) dan aku mendapatkan beliau dalam keadaan memintaan ampun bagi orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan dan para syuhada."

Banyak hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam kitab musnad beliau, Imam At-Tirmidzi At-Thabrani, Ibnu Hibban, Ibnu Majah, Al Baihaqi dan An Nasai, yang menetapkan bahwa Rasulullah SAW adalah memuliakan malam Nisfu Sya'ban dengan memperbanyak shalat, doa dan istighfar.

Jadi, bukanlah perbuatan bid'ah dan bukan pula perbuatan aneh jika malam nisfu Sya'ban dijadikan malam untuk banyak berzikir, berdoa dan istighfar dan melakukan shalat bagi kaum muslimin.

6. Bulan turunnya Allah SWT ke muka bumi.
Rasulullah SAW pernah bersabda,
"Jika terjadi malam nisfu Sya'ban, maka shalatlah kamu sekalian pada malam harinya, dan puasalah kamu sekalian pada siang harinya. Karena sesungguhnya Allah Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi turun pada malam tersebut ke langit dunia mulai dari terbenam matahari dan berfirman,
"Apakah tidak ada orang yang meminta ampun, sehingga Aku mengampuninya? Apakah tidak ada orang yang meminta rezeki, sehingga Aku memberinya rezeki? Apakah tidak ada orang yang terkena bala, sehingga Aku dapat menyelamatkannya? Apakah tidak demikian, apakah tidak demikian, sehingga terbit fajar."

Imam Al-Ghazali mengistilahkan malam Nisfu Sya'ban sebagai malam yang penuh syafaat (pertolongan).
Menurut Al Ghazali, pada malam ke 13 di bulan Sya'ban, Allah SWT memberikan tiga syafaat kepada hamba-hambanya.
Sedangkan pada malan ke-14, seluruh syafaat itu diberikan secara penuh.
Read More
Published Mei 14, 2012 by with 0 comment

Perkembangan Modern di Dunia Islam


Periode Klasik (650-1250 M) : Zaman Kemajuan
  • Fase I (pertama) 650 - 1000 M : Masa Ekspansi, Integrasi dan Puncak Kemajuan
  • Fase II (kedua) 1000 - 1250 M : Masa Disentegrasi

Periode Pertengahan (1250 - 1800 M) : Zaman Kemunduran
Pada periode ini terdapat  dua fase:
  • Fase I (1250 - 1500 M) : Kemunduran (pertentangan antara suku dan golongan Islam meningkat)
  • Fase II (1500 - 1800 M) : Tiga kerajaan besar pada fase ini terdapat dua zaman:
  1. Zaman kemajuan (1500 - 1700 M): Tiga kerajaan besar (Kerajaan Utsmani [Ottoman Empire] di Turki, Safawi di Persia, dan Mughal di India).
  2. Zaman Kemunduran total (1700 - 1800 M): Semua negara Islam dikuasai/dijajah oleh Eropa/Barat.
Pendudukan Napoleon di Mesir (1798 M) dan Pembaruan di Mesir
Napoleon bersama armadanya dari Perancis mendarat di Alexandria pada tanggal 2 Juni 1798 dan pada tanggal 22 Juni 1798 sudah menguasai wilayah Mesir.
Napoleon ke Mesir bukan hanya membawa tentara, akan tetapi terdapat 500 kaum sipil yang ahli dalam berbagai bidang ilmu; dua set percetakan dengan huruf latin, Arab dan Yunani. Jadi ekspedisi itu bukan hanya untuk kepentingan militer tapi juga utnuk kepentingan ilmiah. Maka dibentuk Institut 'Egypte. Orang Mesir diperbolehkan mengunjungi Institut itu. Untuk itu, Abd al-Rahman al-Jabarti, ulama besar Mesir menulis "Saya lihat di sana benda-benda dan percobaan ganjil yang menghasilkan hal-hal besar untuk dapat ditangkap oleh akal seperti yang ada di pikiran kita.
Alat ilmiah yang di maksud adalah teleskop, mikroskop, alat-alat percobaan kimiawi dan lain-lain.

Periode Modern (1800 M - Sekarang)
Pada periode modern merupakan zaman kebangkitan umat Islam. Jatuhnya Mesir ke tangan Barat menginsafkan dunia Islam atas kelemahan dan menyadarkan mereka bahwa barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi dunia Islama. Raja-raja dan pemuka Islam melau memikirkan usaha meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam kembali. di periode inilah timbulnya ide-ide pembaruan dalam Islam.

Pemakaian Istilah Modern
Perkembangan Modern di Dunia Islam - Istilah Modern dikenal dengan at-Tajdid (pembaruan), artinya 'baru' belum ada sebelumnya.
Istilah modern atau modernisme di Barat mengandung arti fikiran, ajaran, gerakan dan usaha untuk merubah faham, adat istiadat, istitusi lama dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan IPTEK.
Di Dunia Islam, modernisasi mengandung arti fikiran dan gerakan untuk menyesuaikan faham-faham keagamaan dengan perkembangan yang baru yang ditimbulkan iptek. Dengan tujuan untuk melepaskan umat Islam dari suasana kemunduran untuk selanjutnya membawa mereka ke arah yang maju (kemajuan).

Apa yang dibarui dalam Islam?
Sebenarnya, menurut konsep Islam, yang dibarui itu adalah interpretasi terhadap kandungan ayat al-Qur'an dan hadis nabi, sesuai dengan kondisi zaman, terutama yang berkaitan dengan kehidupan keduniaann atau kemasyarakatan. Bukan ayat dan hadis yang diubah, dan hal-hal yang berkaitan dengan akidah, ibadah dan akhlak.

Berikut tokoh-tokoh pembaruan, silahkan klik link untuk mendapatkan makalah dari masing-masing pembaru:

A. Pembaruan di Mesir
Muhammad 'Ali Pasha : Usaha dan gerakan pembaruannya
At Tahthawy : Ide-Ide Patriotisme dan Nasionalisme Mesir
Jamaluddin Al-Afgani : Pan-Islamisme dan ide lainnya
Muhammad 'Abduh : Anti Jamud, Rarional dan Pembaru Pendidikan
Sayyid Rasyid Ridha : Ide Pembaruannya
Qasim Amin : Emansipasi Wanita
'Ali 'Abdu al-Raziq : Khilafah, Pemerintahan dan Negara dalam Islam
Jamal 'Abd al-Nashir : Nasionalisme dan Sosialisme Arab
Thaha Husain : Islam dan Sekularisme

B. Pembaruan di Turki Usman
Sultan Mahmud II  :  Gagasan Pembaruannya
Tanzimat : Piagam Gulhane dan Humayun
'Utsmani Muda : Konstitusi 1876
Turki Muda : Anti Absolutisme Sultan
Tiga Aliran Pembaruan di Turki : Barat, Islam, dan Nasionalisme
Mustafa Kemal Attaturk : Negara Republik Sekuler
Republik Turki : Gerakan kembali ke Islam

C. Pembaruan di India dan Pakistan
Gerakan Mujahidin : Ide-ide Pembaruannya
Sayyid Ahmad Khan : Ide-ide Pembaruannya
Sayyid Ameer 'Ali : Islam Rasional dan Metode Perbandingan
Muhammad Iqbal : Teori gerak dan Kedinamisan Islam
Muhammad 'Ali Jinnah  :  Nasionalis India dan Pendirian Republik Pakistan
Abul Kalam Azad : Nasionalisme India
Abu al-A'la al-Maududi : Theodemokrasi

D. Pembaruan di Indonesia
Syarikat Islam : Gerakan Pembaruan Politik Islam
Muhammadiyah : Gerakan Sosial Keagamaan
Nahdlatul Ulama : Gerakan Sosial Keagamaan
Harun Nasution : Islam Rasional
Nurcholish Madjid : Modernisasi, Sekularisasi dan Desakralisasi
Abdurrahman Wahid : Hubungan Islam dan Negara
Munawir Sjadzali : Reaktualitas Hukum Islam

Kemajuan IPTEK Modern Masuk di Dunia Islam
Kemajuan iptek modern memasuki dinia Islam sesudah memasui abab ke 19 M, yang dipandang sebagai permulaan periode modern. Kontak dengan dunia barat selanjutnya membawa ide-ide baru ke dunia Islam, seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi, dan sebagainya. semua ini menimbulkan persoalan-persoalan baru, dan pemimpin-pemimpin Islam-pun mulai memikirkan cara mengatasi persoalan-persoalan itu.

Abab ke 20: Abad kebangkitan Islam di Indonesia.
Pada abad ke 20 ini, umat Islam di Indonesia bangkit melawan penjajah melalui berbagai upaya, seperti memajukan pendidikan, menentang penjajahan dengan peperangan dan lain-lain.
Read More
Published Mei 04, 2012 by with 1 comment

HAKIKAT ILMU PENGETAHUAN

Hakikat Ilmu Pengetahuan
Hakikat Ilmu Pengetahuan - Di dalam konteks, keberadaan segala sesuatu selalu terikat oleh ruang dan waktu tertentu. Keterikatan secara positif seperti itu, mengakibatkan sesuatu eksis dalam kemajemukan jenis, sifat dan bentuk. Karena itu, antara satu dengan lain menjadi berbeda dan cenderung terpisah-pisah. Manusia misalnya, dalam konteks berada dalam ruang dan waktu terbatas, menjadi individu-individu yang berbeda-beda dan cenderung terpisah antara yang satu dengan yang lain.

Terdapat fakta eksistensial bahwa ilmu pengetahuan berkembang dari satu menjadi banyak (plural) dan selanjutnya bergerak ke arah penyatuan (singularisasi). Sudah menjadi pendapat umum, dikalangan ahli filsafat bahwa pada mulanya ilmu pengetahuan itu satu, yaitu Filsafat. Tetapi berkembang tuntutan untuk ditemukan niolai kebenaran objektif-positifistik menurut perbedaan objek materi dan forma (cara pandang), metoda dan sistem, maka kesatuan sifat filosofis ilmu pengetahuan perlu dikembangkan menjadi beraneka ragam dalam jenis, sifat dan bentuk teori.
 

Pluralitas ilmu pengetahuan:
  • Secara Horisontal (jenis objek materi), Ilmu pengetahuan alam, sosial-humaniora dan ketuhanan
  • Secara Vertikal (Objek formanya), ilmu pengetahuan bertaraf filofofis, teoritis, ilmu pengetahuan terapan

Tugas dan kewajiban Filsafat lebih terfokus pada pencarian dan menemukan titik-titik temu (Overlapped) dan pluralitas ilmu pengetahuan. Dari hasil temuannya itu, filsafat menyusun suatu sistem hubungan menyeluruh, sehingga terbentuk sebuah bangunan ilmu pengetahuan.

  1. Sistem hubungan interdiscipliner (kesamaan objek materi)
  2. Sistem hubungan multidiscipliner (kesatuan dari perbedaan objek materi)

Definisi
Arti Hakikat: Secara etimologis berarti terang, yakin, dan sebenarnya. Dalam filsafat, hakikat diartikan inti dari sesuatu, yang meskipun sifat-sifat yang melekat padanya dapat berubah-ubah, namun inti tersebut tetap lestari. Contoh, dalam Filsafat Yunani terdapat nama Thales, yang memiliki pokok pikiran bahwa hakikat segala sesuatu adalah air. Air yang cair itu adalah pangkal, pokok, dan inti segalanya. Semua hal meskipun mempunyai sifat dan bentuk yang beraneka ragam, namun intinya adalah satu yaitu air. Segala sesuatu berasal dari air dan akan kembali pada air.

Hakikat dapat dipahami sebagai inti-sari, bisa pula berupa sifat-sifat umum dari pada hal sesuatu. Dipahami pula sebagai diri pribadi atau jati diri hal sesuatu.

Istilah-istilah dalam bahasa inggris seperti "substance" dan/atau "essence" yang keduanya menunjuk suatu “essential nature" atau ultimate nature of a thing. Jadi bisa pula dipahami sebagai inti dasar atau inti terdalam pada sesuatu.


Aristoteles, menyatakan bahwa setiap yang ada selalu berada dalam suatu cara disebut 10 kategori:

  1. Subtansi (dirinya sendiri)
  2. Quality (sifatnya sendiri)
  3. Quantity (Bentuknya sendiri)
  4. Relation (hubungan dengan hal lain)
  5. Action (tindakan tertentu)
  6. Passi (derita tertentu atas tindakannya)
  7. Space (ruang tertentu)
  8. Tempo (waktu tertentu)
  9. Situs (keadaan tertentu)
  10. Habitus (kebiasaan tertentu)

Jadi, hakikat adalah keseluruhan unsur yang secara mutlak berada di dalam saling berhubungan sehingga membentuk suatu kesatuan utuh-menyeluruh. Selanjutnya, pada taraf tertentu, keseluruhan unsur itu secara bersama-sama menentukan adanya barang atau sesuatu hal sebagaimana diri-pribadinya sendiri, bukan sesuatu hal yang lain.

Hakikat” dapat dikategorikan menjadi 3 hal:
  1. Hakikat Jenis (bersifat abstrak)
  2. Hakikat Pribadi (bersifat Potensial)
  3. Hakikat individual (bersifat kongkret)

Masalah Hakikat Jenis Ilmu Pengetahuan
Ontologi dari bahasa Yunani On berarti ada Ontos berarti keberadaan, sedangkan Logos berarti pemikiran
(pemikiran mengenai yang ada dan keberadaannya)

Menurut Lacey A.R., ontologi diartikan sebagai “a central part of metaphisic” (bagian sentral dari metafisika). Sedangkan metafisika diartikan sebagai “that which comes after “physics”,……the study of nature in general” (hal yang hadir setelah fisika, …. Studi umum mengenai alam).

Karakteristik ontologi

  1. Ontologi adalah studi tentang arti “ada” dan “berada”. Tentang ciri-ciri essensial dari yang ada dalam dirinya sendiri, menurut bentuknya yang paling abstrak.
  2. Ontologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tata dan struktur realitas dalah arti seluas mungkin dengan menggunakan kategori-kategori seperti: ada atau menjadi, aktualitas atau potensialitas, nyata atau penampakan, essensi atau eksistensi, kesempurnaan, ruang dan waktu, perubahan dan sebagainya.
  3. Ontologi adalah cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakikat terakhir yang ada yaitu Yang Satu, Yang Absolut, Bentuk Abadi, Sempurna dan keberadaan segala sesuatu mutlak bergantung kepadaNya.
  4. Ontologi adalahcCabang filsafat yang tenang status realitas apakah nyata atau semu, apakah pikiran itu nyata dan sebagainya.

Masalah Hakikat Pribadi Ilmu Pengetahuan
Epistemologi dari bahasa Yunani Episteme berarti pengetahua/ilmu pengetahuan, sedangkan Logos berarti pengetahuan ==> Epistemology berarti pengetahuan mengenai pengetahuan. Sering disebut “teori Pengetahuan”

Lacey menyatakan, persoalan sentral epistemologi adalah mengenai persoalan apa yang dapat kita ketahuai dan bagaimana cara mengetahuinya.

Teori kebenaran epistemologi
  1. Teori koheren. Dibangun berdasar hakikat pribadi rasional ilmu pengetahuan. Karena bersifat rasional, maka kebenaran ilmiah teoritis dipandang dalam ruang lingkup bertaraf abstrak ideal
  2. Teori koresponden. Dibangun berdasar hakikat empirik ilmu pengetahuan. --> dipandang dalam ruang lingkup bertaraf konkret realistik.
  3. Teori pragmatik. Dibangun berdasar baik hakikat rasional maupun empirik ilmu pengetahuan. --> kebenaran ilmiah teoritis dipandang dalam lingkup dialektis rasional dan empirik. Akibatnya, ukuran kebenaran berstandar dua, dengan menekankan pada nilai kegunaan.

Aspek epistemologi ilmu pengetahuan adalah persoalan bagaimana menemukan kebenaran tentang suatu objek materi, melalui berbagai macam sudut pandang (objek forma), metoda dan sistem. Maka berkembanglah pula berbagai macam teori kebenaran. Sejauh mana perpedaan itu? Tetap terhubungkan dalam satu kesatuan objek (forma, metoda dan sistem).

Masalah Kakikat Individual Ilmu Pengetahuan
Etika berasal dari bahasa Yunani  “Ethikos” atau “ethos” berarti adat atau kebiasaan.
(berkembang menjadi ekuivalen dengan moralitas).


Etika sering diartikan dengan filsafat moral atau filsafat tingkah laku.
Tradisi filsafat membagi etika kedalam etika normatif dan kreatif (meta-etika?). Etika normatif, mempersoalkan pengukuran perbuatan baik dan benar berdasar norma-norma konvensional sebagai petunjuk atau penuntun prilaku. Sedangkan kreatif, cenderung bersifat filosofis, pengukuran perbuatan baik dan benar berdasar pada analisis kritis logis. Kedua kriteria ini dapat dijadikan pedoman, bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku. Hanya menurut dasar hak dan kewajiban yang seharusnya, suatu perilaku baik dan benar.

Aspek ilmu pengetahuan adalah mengenai hakikat konkret individual ilmu pengetahuan. Seperti halnya manusia, barulah berfungsi ketika menjadi konkret individual, maka begitu juga halnya ilmu pengetahuan baru dapat difungsikan ketika teori-teori ilmiah dibangun menjadi sebuah sistem teknologi.

Atas dasar Potensi ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia seharusnya mampu dan mau untuk:
  • Mengutamakan prilaku adil dan bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup dan sumber daya alam.
  • Mampu dan mau berprilaku adil terhadap sesama manusia.
  • Mampu dan mau bersikap adil terhadap diri sendiri.

Kesimpulan, bahwa dalam hal hakikat ilmu pengetahuan, terutama pada titik etika, memperingatkan kepada umat manusia untuk mulai sekarang memutar balik sikap dan perilaku kehidupannya kepada orientasi baru berupa “kembali ke azas kesebaban”. Berdasar pada azas ini, sikap dan perilaku manusia di tuntut untuk menomor-satukan kebetuhan hidup dan menomor-duakan keinginan hidup. Dengan pilar perilaku ini, sebagai makhluk, maka manusia mendapatkan kembali posisi dan perannya sebagai “pemimpin” (khalifatullah) kehidupan.

Sebagai pemimpin, manusia bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup dengan cara menjaga kelestarian lingkungan hidup sebagai rumah tinggal dari semua makhluk.

Dengan kepemimpinannya, manusia bukan lagi sebagai penguasa atas kehidupan ini, yang terbukti mengakibatkan pengrusakan terhadap lingkungan hidup dan moralitasnya sendiri.
Read More
Published Maret 28, 2012 by with 0 comment

Al-Thahthawi (Ide Patriotisme dan Nasionalisme)


BAB I
PENDAHULUAN
 

A.    Latar Belakang   
Sebelum memasuki era modern, kepemimpinan Islam yang berbentuk khilafah  mencakup wilayah yang luas serta bersifat lintas etnis dan lintas budaya. Kaum muslim yang terdiri dari berbagai etnis dengan latar belakang budaya yang berbeda dipersatukan kedalam satu institusi yang disebut umat. Umat Islam dipimpin oleh  khalifah yang dianggap sebagai penerus kepemimpinan Rasulullah SAW. Ini berarti bahwa seorang khalifah merupakan pimpinan negara dan sekaligus sebagai pemimpin agama. Mengenai hal ini Ibn Khaldun menyatakan bahwa “Kekhalifahan itu pada hakekatnya adalah pelimpahan kekuasaan dari peletak Syari’at untuk memelihara agama dan mengatur dunia”[1]
Sampai runtuhnya pemerintahan dinasti Umayyah yang berpusat di Damaskus seluruh dunia Islam mengakui satu Khilafah ( kekahalifahan ). Akan tetapi mulai pemerintahan Bani Abbas kekhalifahan di dunia Islam sudah tidak tunggal lagi. Artinya,Khilafah sebagai lambang kesatuan dunia Islam seluruhnya,sudah tidak ada lagi.
Fase kedua dari periode pertengahan sejarah Islam (tahun 1500-1800 M ) muncul tiga kesatuan politik (khilafah)di dunia Islam. Wujud tiga kesatuan politik tersebut adalah tiga kerajaan besar, yakni : kerajaan Usmani,Safawi dan Mughal.[2]
Meskipun dunia Islam waktu itu terbagi ke dalam tiga kerajaan besar,akan tetapi masyarakat di tiga kerajaan besar itu masih menganggap khalifah yang memimpin mereka adalah pemimpin agama dan negara – lebih tepat disebut pemimpin Islam. Disamping itu wilayah kekuasaan masing-masing kerajaan yang masih bersifat lintas etnis dan lintas budaya mengakibatkan kesadaran bernegara yang dilandasi oleh sentiment ras atau suku bangsa belum muncul. Dalam bernegara mereka masih dilandasi oleh sentiment-sentimen keagamaan.
Pendaratan Napoleon di Mesir (tahun 1798), merupakan titik permulaan terbukanya pandangan orang Islam, khususnya di Mesir terhadap dunia luar. Napoleon datang ke Mesir bukan hanya dalam rangka politik colonialnya, tetapi ia juga memp[erkenalkan kemajuan-kemajuan materi,gaya hidup,dan system nilai Barat,serta ide-ide yang baru dalam pandangan masyarakat Mesir.[3]
Persentuhan kebudayaan Prancis dengan Mesir rupanya berpengaruh pula kepada Muhammad Ali Pasya,penguasa Mesir pada waktu itu. Untuk kemajuan Mesir sebagaimana Prancis, ia kemudian mendirikan beberapa sekolah modern dan mengirimkan rombongan mahasiswa ke Paris, Prancis. Salah seorang diantara rombongan yang dikirim tersebut seorang ulama yang bernama Al-Thahthawi.
Al-Thahthawi inilah yang dikemudian hari mengembangkan suatu ide yang ada hubungannya dengan konsep tanah air yang dipahami umat Islam pada waktu itu.Ide tersebut disebutnya sebagai ide patriotisme (hubb al-watan ). Dalam hubungannya dengan pemahaman kaum muslim tentang konsep tanah air,ide patriotisme tersebut adalah suatu ide yang berbeda dan baru. Mengenai hal ini Harun Nasution menyatakan bahwa ide patriotisme tersebut adalah suatu konsep baru bagi dunia Islam.Persaudaraan yang dikenal pada masa Al-Thahthawi adalah persaudaraan keIslaman dan tanah air adalah seluruh wilayah Islam dan sejarah adalah sejarah Islam. Ide ini merupakan benih nasionalisme.
Pernyataan Harun Nasution di atas mengindikasikan bahwa sampai saat Al-Thathawi mengemukakan ide patriotismenya, kaum muslim dalam bernegara dan bertanah air masih berlandaskan sentiment-sentimen keagamaan yang kuat dan tidak berlandaskan perasaan kebangsaan (nasionalisme).[4]



B.    Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, penulis akan mengadakan suatu pembahasan pokok masalah yaitu pandangan Al-Thahthawi tentang patriotisme dan nasionalisme Mesir.
      Untuk membahas masalah pokok di atas, maka penulis merumuskannya ke dalam 3 sub masalah sebagai berikut:
  1. Siapakah Al-Thahthawi itu?
  2. Bagaimana latar belakang munculnya ide patriotisme dan nasionalisme Mesir?
  3. Bagaimana pandangan Al-Thahthawi sehubungan dengan idenya tersebut?
Tulisan ini adalah bersifat deskriptif, sehingga ia harus objektif, akan tetapi dalam bagian-bagian tertentu ia bersifat interpretatif berdasarkan sosiohistoris dan pemikiran Islam.
Sesuai dengan sifatnya yang deskriptif maka tujuan pembahasan dalam tulisan ini adalah untuk menggambarkan secara obyektif bagaimana sebenarnya ide patriotisme Al-Thahthawi dan nasionalisme Mesir pada masa itu,sehingga dengan demikian akan dapat dibuat penilaian-penilaian yang tepat mengenai objek tersebut.



BAB II
PEMBAHASAN

A.     Riwayat Hidup Al-Thahthawi
Al-Thahthawi yang bernama lengkap  Rifa’ah Badawi Rafi’ Al-Thahthawi lahir pada tahun 1801 M disebuah kota yang bernama Tahta terletak di bagian selatan Mesir. Masa kecil Al-Thahthawi semasa dengan awal-awal pemerintahan Muhammad Ali Pasya yang bersifat represif. Ketika Muhammad Ali mengadakan perampasan terhadap harta orang-orang kaya Mesir, maka harta orang tua Al-Thahthawi termasuk juga yang ikut terampas. Sebagai akibatnya, Al-Thahthawi pada masa itu sekolah atas bantuan dari keluarga ibunya.
Pada umur enam belas tahun,Al-Thahthawi berangkat menuju Kairo untuk melanjutkan studinya di Al-Azhar. Selama belajar di Al-Azhar, ia berkenalan dan dekat dengan salah seorang gurunya yang bernama Al-Syaikh Hasan Al-‘Attar. Syaikh Al-‘Attar tersebut adalah seorang ulama yang mempunyai wawasan yang cukup tentang perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan modern. Hal ini disebabkan karena ia senantiasa mengadakan hubungan dengan ahli-ahli pengetahuan Prancis yang datang ke Mesir bernama Napoleon. Dari gurunya ini, Al-Thahthawi senantiasa mendapatkan motivasi untuk menambah ilmu pengetahuan.[5]
Setelah lima tahun menuntut ilmu di Al-Azhar, maka pada tahun 1822 Al-Thahthawi menamatkan studynya. Setelah tamat ia diberi kepercayaan untuk mengajar pada almamaternya tersebut. Dua tahun kemudian, yakni pada tahun 18242 ia diangkat oleh pemerintah Mesir sebagai imam militer angkatan darat.
Pada tahun 1826, dalam rangka usaha pembaruan yang sedang giat dilakukannya, Muhammad Ali Pasya mengirim rombongan mahasiswa ke Paris, Prancis. Tujuan pengiriman mereka adalah agar mereka dapat langsung menimbah berbagai macam ilmu pengetahuan modern pada sumbernya yang kemudian akan diterapkan di Mesir. Untuk menjaga agar para mahasiswa tersebut tidak terpengaruh pada moral dan budaya barat yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, maka dalam rombongan itu disertakan juga ulama yang bertugas membimbing sekaligus sebagai imam shalat para mahasiswa tersebut. Salah seorang ulama yang dikirim menyertai mahasiswa-mahasiswa itu adalah Al-Thahthawi.
Al-Thahthawi ketika berada di Paris, selain menjalankan tugasnya juga memamfaatkan kesempatan tersebut untuk menambah ilmu pengetahuan. Hal ini tidak lepas dari ajaran yang pernah diterimanya dari Al-Syaikh Hasan Al-‘Attar. Mula-mula Al-Thahthawi belajar bahasa Prancis. Setelah mengauasai bahasa itu, ia mulai membaca buku-buku berbahasa Prancis dalam bidang politik, sosial, sastra, ilmu alam, strategi peperangan, dan sebagainya. Kemudian dia mulai menerjemahkan buku-buku dan risalah  berbahasa Prancis  ke dalam bahasa Arab sampai kemudian ia benar-benar menjadi seorang ahli penerjemah. Selain belajar dan menerjemah, Al-Thahthawi juga dengan seksama mempelajari kondisi sosial di Prancis, adat istiadat penduduknya, metode pendidikannya, dan sebab-sebab kebangkitan Eropa.[6]
Setelah lima tahun di Prancis, Al-Thahthawi pulang ke Mesir bukan lagi sebagai Al-Thahthawi yang dulu. Dia kini menjadi seorang ahli di bidang penerjemahan yang mempunyai wawasan yang luas tentang berbagai ilmu penegetahuan modern, serta kaya dengan ide-ide baru.
Dengan keahlian Al-Thahthawi di bidang penerjemahan, ia kemudian diangkat oleh Muhammad Ali Pasya sebagai guru bahasa Prancis dan pembimbing penerjemahan buku-buku kedokteran. Setelah itu ia dipindahkan ke sekolah militer untuk mengepalai penerjemahan buku-buku tentang ilmu teknik dan kemiliteran. Beberapa waktu kemudian, timbul ide dalam benak Al-Thahthawi untuk mendirikan sekolah penerjemahan. Ketika ide tersebut disampaikan kepada Muhammad Ali, Muhammad Ali menyetujuinya, dan menugaskan Al-Thahthawi untuk segera merealisasikannya dan sekaligus menjadi direktur sekolah tersebut.[7]
Sejak sekolah penerjemahan itu berdiri (tahun 1836) yang kemudian berubah menjadi sekolah bahasa-bahasa Asing, berbagai macam usaha dilakukan oleh Al-Thahthawi untuk memajukan sekolah tersebut. Antara lain usaha tersebut adalah berkeliling ke pelosok-pelosok untuk mencari “bibit unggul” untuk dididik dalam sekolah itu. Disamping itu, Al-Thahthawi juga mencari guru bahasa Prancis, bahasa Turki, bahasa Arab, sejarah, geografi, ilmu pasti, dan penerjemahan. Ide dan usaha Al-Thahthawi ini kemudian menjadi salah satu faktor yang mempercepat kebangkitan ilmiah dan tonggak peradaban modern di Mesir.[8]
Selain karya di bidang pendidikan dan penerjemahan, Al-Thahthawi juga bergerak pada bidang penerbitan dan penulisan. Pada bidang-bidang penerbitan, Al-Thahthawi pernah menjadi pimpinan surat kabar resmi pemerintahan Muhammad Ali. Di bawah pimpinannya, surat kabar yang bernama Al-Waqai’u Al-Mishriyyah itu bukan semata-mata menjadi “corong” pemerintah saja, akan tetapi juga memuat informasi-informasi tentang perkembangan barat. Pada masa Khedewi Ismail, saat gerakan ilmiah di Mesir mulai menguat- hal ini juga tidak terlepas dari usha-usaha  yang pernah dilaksanakan Al-Thahthawi – Al-Thahthawi mendirikan majalah Raudhah Al-Madaris, yang anggota  redaksinya tediri dari  para seniman dan ilmuawan. Majalah ini bertujuan untuk memajukan bahasa Arab dan menyebarkan ilmu-ilmu pengetahuan modern.[9]
Dalam uraian di atas,terlihat jelas begitu besarnya obsesi Al-Thahthawi untuk menyebarkan ilmu pengetahuan modern di Mesir. Hal ini tentu saja dimaksudkan agar Mesir mencapai kemajuan-kemajuan sebagaimana yang dialami oleh Barat.
Al-Thahthawi bukanlah seorang sekuler, usahanya dalam memperbaiki tradisi.Khususnya dalam bidang pendidikan, kewanitaan, dan memperbaharui literature. Ia memang menginginkan Mesir menjadi modern sebagimana Barat tapi dijiwai oleh agama dalam segala aspek.[10] 
Salah satu tujuan pendidikan menurut Al-Thahthawi adalah membentuk manusia yang patriotik.[11] Ide patriotisme yang dikemukakan Al-Thahthawi akan dibahas secara mendalam pada bagian selanjutnya.
Dalam hal agama dan peranan ulama, Al-Thahthawi menghendaki agar para ulama selalu mengikuti perkembangan dunia modern dan mempelajari pelbagai ilmu penegatahuan modern, perlu peninjauan kembali cara atau istimbath pengambilan hukum syara’ dan dengan demikian pintu ijtihad tidak perlu ditutup sebagaimana pendapat yang berkembang pada waktu itu.[12]
Sekembalinya dari Paris, Al-Thahthawi masih sempat hidup selama empat puluh tahun sampai ia meninggal tahun 1873 M.[13] Selama itu dia tidak pernah berhenti dari pekerjaannya untuk mengadakan pembaharuan di Mesir. Pengalaman, pikiran, dan idenya ia tuangkan dalam berbagai buku. Diantara buku-bukunya yang terpenting adalah sebagai berikut:
  1. Takhlishu Al-Ibriz fi Talkhishi Bariz,” Intisari dari kesimpulan tentang Paris”.
  2. Manahij Al-albab Al-Mishriyyah fi Al-Manahij Al-Adab Al-Ashriyyah, “ Jalan Bagi orang Mesir untuk mengetahuio literatur modern”.
  3. Al-Mursyid Al-Amin li Al-Banat wa Al-Banin, “ Petunjuk bagi pendidikan putera-puteri”.
  4. Al-Qaul Al-Sadid fi Al-Ijtihad wa Al-Taqlid, “ Perkataan yang benar mengenai ijtihad dan taqlid.[14]
  5. An’waru Taufi’qul Jaliylu fi Akhbari Mashir wa Taustiqu Bany Ismail , “Cahaya Taufik Dalam Menguatkan Berita-berita tentang Mesir dan Keturunan Ismail”.
B.     Latar Belakang Munculnya Ide Patriotisme dan Nasionalisme Mesir
Ekspedisi Napoleon ke Mesir pada akhir XVIII telah membawa hal-hal yang baru bagi masyarakat Mesir. Disamping memperlihatkan kemajuan-kemajuan materi Barat, Napoleon juga membawa ide-ide yang baru bagi masyarakat Mesir. Ide kebangsaan merupakan salah satu contoh dari ide-ide tersebut. Bagi orang Islam pada waktu itu yang ada hanyalah umat Islam (Al-ummah Al-Islamiyyah) dan tiap orang Islam adalah saudaranya dan mereka tak begitu sadar akan perbedaaan bangsa dan suku bangsa. Oleh karena itu, ide tersebut pada mulanya belum mempunyai pengaruh yang nyata bagi umat Islam di Mesir.[15]
Dalam perkembangan kontak dengan Barat pada abad XIX, ide-ide yang diperkenalkan Napoleon mulai diterima dan dipraktekkan. Khusus mengenai ide nasionalisme kebangsaan, pengembangannya di Mesir di pelopori oleh Al-Thahthawi, sebagaimana akan dilihat pada pembahasan mendatang.
      Pada bagian terdahulu dikemukakan bahwa setelah bertugas dan belajar di Paris, Al-Thahthawi pulang ke Mesir dengan membawa keahlian dan ide-ide baru. Menurut Al-Thahthawi, kunci-kunci kemajuan Eropa dapat ditemukan pada organisasi politik dan ekonomi,kesadaran sebagai anggota masyarakat, ilmu pengetahuan, dan rasa patriotisme mereka.[16]
Ide Al-Thahthawi mengenai patriotisme baru ia kembangkan di Mesir pada tahun 1869 (pada masa Khedewi Ismail),[17] yakni sekitar tiga puluh delapan tahun setelah ia kembali dari Paris. Hal ini menunjukkan bahwa ide patriotisme tersebut untuk diterima oleh masyarakat Mesir, melalui suatu proses dan tidak langsung diterima begitu saja. Kenyataan ini merupakan suatu hal yang wajar mengingat bahwa umat Islam saat itu telah memiliki ide tersendiri yang berbeda dengan ide patriotisme tersebut. Ide bahwa seluruh dunia Islam adalah tanah air mereka yang mesti dibela demi kejayaan Islam dan bahwa orang-orang Islam merupakan satu “bangsa” yang disebut umat Islam, merupakan ide-ide yang telah mereka pegang selama lebih sebelas abad.
Meskipun demikian, agaknya kondisi riil ummat Isalam pada awal abad kesembilan belaslah yangh menyebabkan ide patriotisme secara pelan tapi pasti dapat diterima masyarakat Islam, khususnya di Mesir. Pada saat itu, secara de jure Mesir masih merupakan wilayah Khilafah Usmani. Itulah sebabnya mengapa penguasa Mesir seperti Muhammad Ali  tidak menggunakan gelar sultan atau khalifah tetapi hanya pasya. Meskipun demiklian secara de facto yang berkuasa di Mesir pada waktu itu adalah para pasya.
Daya imperial Usmani yang selama beberapa abad mereka banggakan semakin turun pamornya. Posisi kekhalifahan yang dalam beberapa dekade di dunia Islam dianggap sebagai pemersatu umat, kian goyah. Sebab khalifah yang selama ini dianggap sebagai pemimpin Islam telah bersikap tidak Islami. Beberapa kali tidak mau dikatakan banyak diantara khalifah Usmani yang cenderung bersifat otoriter. Esensi perundang-undangan Islam mereka jadikan kedok bagi penindasan, kesewenang-wenangan, tindakan korup, dan berbagai kedzaliman lainnya. Keadaan seperti ini mengakibatkan rakyat tidak percaya lagi kepada khalifah sehingga negara menjadi lemah, itulah sebabnya banyak wilayah Usmani dapat direbut oleh kolonialis Barat.
Menjelang abad kesembilan belas, kekuasaan Turki sudah kian memudar. Usmani yang berkuasa tidak lebih dianggap dinasti yang secara otoritas politis lebih mementingkan peran kenegaraan dari pada konsep ummat dan loyalitas kepada Ilahi, sebagaiman khilafah-khilafah terdahulu. Itulah yang mendorong kekuatan imperium Usmani semakin suram dan banyak wilayah kekuasaan melepaskan diri.[18]
Keadaan umat Islam di Mesir tidak berbeda jauh dengan keadaan di wilayah Usmani lainnya. Meskipun Mesir pada waktu itu merupakan suatu Wilayah yang bersifat otonom, akan tetapi sebenarnya penguasalah yang mempunyai keleluasaan mengatur segalanya. Rakyat tidak dapat berpartisipasi secara bebas dan maksimal dalam pembangunan Mesir untuk mengejar ketertinggalan mereka di Barat.[19]
Kondisi umat Islam,khususnya di Mesir, sebagaimana tergambar di atas mendorong Al-Thahthawi untuk mengembangkan ide patriotisme yang dianggapnya sebagai salah satu kunci kemajuan Barat.

C.     Ide Patriotisme  dan Nasionalisme Mesir
Untuk mengembangkan pandangan-pandangan Al-Thahthawi yang berkaitan dengan ide patriotismenya ada beberapa kata atau istilah kunci yang perlu dipahami, yakni :
  1. Tanah Air ( Wathan )
Menurut Harun Nasution yang dimaksud dengan tanah air oleh Al-Thahthawi adalah Mesir.[20] itu berarti tanah air yang dipahami masyarakat pada saat itu telah berubah penekanannya, paham yang berkembang sebelumnya bahwa seluruh dunia Islam adalah tanah air tiap muslim, kini berubah penekanannya menjadi tanah air sekarang ditekankan, artinya tumpah darah seorang muslim bukan lagi seluruh dunia Islam, tetapi Mesir adalah tanah air bangsa Mesir, konsep cinta tanah air inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya nasionalisme bangsa Mesir.
Dalam kitab Al-mursyid Al-Amin li Al-Banat Al-Thahthawi menyatakan bahwa dalam membina perasaan bertanah air selain didasarkan kepada sentiment keagamaan, dapat saja ia dibangun berdasarkan perasaan kesamaan dalam kebangsaan atau kekeluargaan. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa Tuhan seseungguhnya mengizinkan kebahagiaan bersama dibangun di atas suatu tanah air, yakni tempat ayah, ibu, dan guru.[21] Yang dimaksud Al-Thahthawi adalah apa yang diistilahkan sebagai tanah tumpah darah. Tanah tempat kita dilahirkan kemudian dididik oleh orang tua dan guru.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa Al-Thahthawi memberikan suatu alternative kepada masyarakat Mesir untuk membentuk suatu tanah air didasarkan kepada perasaan kesamaan kebangsaan.
  1. Patriot ( Putera Tanah Air )
Seseorang dapat menjadi putera tanah air ( patriot ) karena ia putera asli atau karena melalui proses naturalisasi. Akan tetapi, seorang patriot sejati adalah bila ia memenuhi kewajibannya kepada tanah air disamping menuntut haknya.[22]
Kewajiban utama seorang patriot adalah mematuhi hukum yang berlaku di negaranya. Jika seseorang tidak mematuhi hukum dengan kata lain ia tidak memenuhi kewajibannya, maka ia kehilangan hak-haknya sebagai warga Negara.[23] Disamping memenuhi hukum, yang juga menjadi kewajiban seorang patriot adalah membina persatuan dan rela mengorbankan harta dan diri kepada tanah air.[24]
Patriot yang telah berusaha memenuhi kewajiban kepada tanah air maka konsekuensinya ia berhak mendapatkan haknya. Hak yang terpenting bagi patriot adalah kemerdekaan yang sempurnah di tengah-tengah masyarakatnya. Dengan kemerdekaan itu suatu masyarakat sejati dengan patriotisme yang kokoh akan terbentuk.[25]
Al-Thahtawi menyatakan bahwa walaupun Mesir modern adalah Islam, tetapi tidak semua putera Mesir beragama Islam. Orang-orang non muslim tidak berhak mendapatkan haknya sebagai putera tanah air sebagaimana halnya dengan muslim seperti hak kemerdekaan beragama. Antara orang Islam dan orang non-muslim Mesir adalah bersaudara.[26] Jadi menurut Al-Thahthawi, selain persaudaraan yang didasarkan pada persamaan agama (ukhuwah islamiyyah ), ada juga persaudaraan setanah air yang berdasarkan perasaan kesamaan kebangsaan (ukhuwah wathaniyah ).
  1. Patriotisme ( Hubb Al-Wathan )
Setiap orang mengharapkan masyarakatnya menjadi suatu masyarakat yang berperadaban dan bukan masyarakat yang biadab. Menurut Al-Thahthawi, masyarakat yang berperadaban dapat terwujud dengan adanya pengabdian atau partisipasi aktif dari setiap anggota untuk menegakkan nilai-nilai moral, membina dapat atau kebiasaan serta memajukan pendidikan, dan meningkatkan taraf hidup. Semua ini harus berlandaskan kepada hokum-hukum Ilahi yang dibawa oleh Rasul-Nya.[27]
Dasar yang kuat untuk mewujudkan suatu masyarakat berperadaban adalah patriotisme.[28] Pengabdian yang diharapkan dari seorang putera tanah air hanya akan terwujud jika ditanamkan kepadanya rasa cinta tanah air ( patriotisme ). Sebab, sulit sekali diharapkan partisipasi seseorang dalam membangun tanah airnya jika ia sendiri tidak memiliki kepedulian kepada kepentingan tanah airnya terasebut.
Al-Thahthawi berpendapat bahwa patriotisme dapat ditanamkan ke dalam jiwa para patriot jika hak-haknya dapat dijamin oleh Negara. Setiap putera tanah air berhak diperhitungkan sebagai warga masyarakat oleh para penguasa. Sebagai konsekuensinya, para penguasa harus dapat menyerap aspirasi mereka dan tidak berbuat semaunya saja. Para penguasa juga harus siap menerima kritikan dan oposisi dari rakyatnya.


Jika hal-hal tersebut dapat terwujud, maka setiap putera tanah air tidak akan merasa sebagai orang asing yang tidak tahu menahu dengan persoalan-persoalan pemerintah, sebagaimana terjadi pada masa-masa lalu. Selanjutnya Al-Thahthawi menyatakan bahwa sekarang ( pada waktu ide itu dikemukakan, Pen ) Jiwa patriot sejati dapat diisi dengan perasaan cinta tanah air, karena telah diperhitungkan sebagai anggota tanah air.



BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan-pembahasan yang telah dikemukakan, dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :
1.      Rifa’ah Badawi Rafi Al-Thahthawi ( 1801 – 1873 M ) yang lahir di Tahta ( Mesir bagian selatan ) adalah seorang ulama dan pelopor pembaharuan di Mesir. Usha-usaha pembaharuannya yang dijiwai oleh nilai-nilai Islam dilakukan melalui pendidikan,penerjemah, penerbitan media pers, dan penulisan.
2.      Al-Thahthawi membuka pintu ijtihad . Ijtihad itu terbagi dua dalam Islam : Ijtihad Mutlak, dan Ijtihad Mashab, mengenai soal fatalisme ia mencela orang-orang Paris krena mereka tak percaya adanya qada dan qadar. Menurut At-Thahthawi ialah orang harus percaya pada qada dan qadar Tuhan, tetapi disamping itu harus berusaha tidak boleh manusia mengembalikan segala-galanya kepada qada dan qadar.
3.      Usaha pembaharuan Al-Thahthawi yang utama adalah pembaharuan konsep bertanah air masyarakat Islam Mesir. Ia berpendapat bahwa salah satu kunci kemajuan Barat adalah konsep bertanah air yang dijiwai ole hide yang diesebut patriotisme, demikian pula konsep bertanah air, Al-Thahthawi merubah penekanannya menjadi tanah air tumpah darah orang Mesir adalah Mesir. Konsep cinta tanah air ini yang menjadi cikal bakal lahirnya nasionalisme bangsa Mesir.
4.      Ide patriotisme Al-Thahthawi adalah suatu ide untuk mewujudkan suatu tanah air, yang akan menjadi “ panggung “ bagi para patriot untuk mewujudkan masyarakat dan Negara yang berperadaban, yang didasarkan pada perasaan kesamaan kebangsaan. Wallahu a’lam


DAFTAR  PUSTAKA
 
Abu Zahrah, Imam Muhammad. Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyyah,diterjemahkan oleh Abd.Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib dengan judul Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam ( Cet. I : Jakarta : Logos, 1996 )
Amin, Husayn Ahmad. Al-Mi’ah Al-A’zham fi Tarikh Al-Islam, diterjemahkan oleh Baharuddin Fannani dengan judul Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam ( Cet.II; Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1997 )
Arkoun, Muhammad. Arab Thought, diterjemahkan oleh Yudian W. Asmin dengan judul Pemikiran Arab ( Cet. I ; Yogyakarta : LPPI dan Pustaka Pelajr, 1996 ).
Asmuni,H.M.Yusran. Aliran Modern Dalam Islam ( Cet. I ; Surabaya : Al-Ikhlas, 1982 ).
Donohue,John J., John l. Esposito, Islam in Transition :Muslim Perspectives, diterjemahkan oleh Machnun Husen dengan judul Islam dan Pembaharuan : Ensiklopedia Masalah-MAsalah ( Cet. V; Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995 )
Nasution, Harun. Pembaharuan DAlam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Cet. I; Jakarta : Bulan Bintang, 1994 )
Sani, Abdul. Lintasan Sejarah Pemikiran : Perkembangan Modern dalam Islam ( Cet. I; Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998 )
Ushama,Thameem. Hasan Al-Banna: Vision & Mission (Kuala Lumpur : A.S. Noordeen, 1995 ).



[1] Imam Muhammad Abu Zahrah,Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyyah,diterjemahkan oleh Abd.Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib dengan judul Aliran Politik dan’Aqidah dalam Islam ( Cet. I; Jakarta : Logos,1996), h. 19
[2] Harun Nasution,Pembaharuan Dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Cet.X; Jakarta : Bulan Bintang, a994), h. 13
[3] Ibid., h. 30 – 32; Lihat juga Thameem Ushama, Hasan Al-Banna:Vision dan Mission (Kuala Lumpur: A.S Noordeen,1995), h. 4
[4] Ibid, hal 49
[5]Abdul Sani, Lintas Sejarah Pemikiran: Perkembangan Modern dalam Islam (Cet.I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1998), h. 34
[6]Husayn Ahmad. Al-Mi’ah Al-A’zham fi tarikh Al-Islam, diterjemahkan oleh Baharuddin Fannanidengan judul Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam (Cet.II; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997), h. 280
[7] Ibid., h. 281; lihat juga Harun Nasution, Op.Cit. h. 44
[8] Ibid.
[9] Ibid.; lihat juga Harun Nasution, Op.Cit. h. 45
[10]H. M. Yusran Asmuni, Aliran Modern Dalam Islam (Cet. I; Surabaya: Al-Ikhlas, 1982) h.40
[11] Ibid.; lihat juga Harun Nasution, Op.Cit. h. 45
[12] Op.Cit. h. 40-41
[13] Op.cit. h. 45-50
[14] Op.cit. h. 45-50
[15] Ibid, h. 32-33
[16] John J. Donohuue, John l. Esposito, Islam in Transition: Muslim Perspectives, diterjemahkan oleh Machnun Husein dengan judul Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedia Masalah-Masalah ( Cet. V; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), h. 3
[17]Muhammad Arkoun, Arab Thought, diterjemahkan oleh Yudian W. Amin dengan judul Pemikiran Arab ( Cet. I; Yogyakarta : LPPI dan Pustaka Pelajar,1996), h.108
[18] Disadur dari Abdul Sani, op.cit, h. 81-83
[19] Misalnya, Al-Thahthawi sendiri pernah “dibuang”ke Sudan oleh Abbas pengganti Muhammad Ali karena ia tidak disenangi pleh pasya tersebut tanpa alas an yang jelas;ingat juga pemerintahan otoriter Muhammad Ali.
[20] Harun Nasution, , op.cit, h. 49
[21] Al-Thahthawi, dalam John J.Donohue,John L. Esposito, op.cit., h. 13 dan 18
[22] Ibit., h. 8
[23] Ibit., h. 9
[24] Harun Nasution, op.cit., h. 48
[25] Ibid., h. 49
[26] Ibid.
[27] Al-Thahthawi, Op.Cit., h. 11
[28] Harun Nasution, Op.cit h. 48
Read More
Published Maret 20, 2012 by with 0 comment

ABU A’LA AL-MAUDUDI (Theo-Demokrasi)

ABU A’LA AL-MAUDUDI 
(Theo-Demokrasi)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Demokrasi diperkenalkan dalam khasanah pemikiran Islam dan dianggap sebagai nilai yang baik, baru pada akhir abad ke 19, saat Negara-negara Islam ketika itu di seluruh belahan bumi kondisinya nyaris serupa, bergumul dengan kolonialisme, ditindas dan diperintah oleh penguasa atau raja yang tiran. Dalam kondisi demikian mereka ingin mengetahui gagasan demokrasi yang berasal dari Barat.
Konsep tentang Islam dan demokrasi telah mulai mendapat tempat signifikan dalam politik Islam modern. Dalam upaya untuk menemukan suatu basis ideologis yang diterima oleh semua kalangan di dunia Islam, para pemikir dari berbagai kalangan masyarakat muslim mulai merambah misi baru untuk merekonsiliasi perbedaan-perbedaan antara berbagai kelompok. Padahal menurut penulis Islam dan demokrasi saling memperkuat bahkan di dalam ajaran Islam terdapat nilai-nilai demokrasi.
Bung Hatta dalam tulisannya tentang demokrasi yang mengatakan bahwa dikalangan kaum pergerakan nasional jauh sebelum kita merdeka telah melihat ada tiga sumber cita-cita demokrasi; Pertama, paham sosialis Barat karena dasar dasar pri kemanusiaan yang dibelanya dan sekaligus menjadi tujuannya. Kedua ajaran Islam yang menuntut kebenaran dan keadilan Ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan antara umat manusia sebagai makhluk Tuhan (theo-demokrasai). Ketiga, pengetahuan tentang masyarakat Indonesia yang ditegakkan atas prinsip kolektifisme. Sumber ketiga ini menurut penulis mengandung unsur-unsur sebagai ciri demokrasi yaitu; musyawarah, mufakat, gotong-royong, dan hak mengajukan protes bersama.
Di dalam dunia Islam saat ini tidak satu teori politik pun bekerja dengan baik. Perubahan-perubahan drastis telah terjadi dalam institusi-institusi politik, dari khilafa ke monarki, pemerintahan militer diktator, hingga pemerintahan terpilih secara demokratis. Tentu saja kita dapat mengatakan secara meyakinkan, pemerintahan yang terpilih secara demokratis lebih dekat dengan spirit Islam.
Namun demikian, tidak ada keseragaman dalam skenario kontemporer di dunia Islam. Semua bentuk pemerintahan yang pernah ada dalam sejarah dapat kita jumpai di dunia Islam saat ini, dari monarki, kediktatoran militer,theo demokrasi hingga demokrasi terkontrol. Suatu hal terlihat jelas, tidak satu negara muslim pun memiliki demokrasi bebas. Di negara-negara tersebut sebagian ulama tradisionalis menolak keras sistem yang mengarah kepada legislasi modern. Mereka merepresentasikan ortodoksi dan dokmatisme.
Dalam negara-negara Islam bertengger pada aturan etos konservatif. Sekularisme dan demokrasi dianggap sebagai anti-Islam dalam atmosfer tersebut. Rezim-rezim militer di Pakistan merupakan contoh kasus bagaimana koservatisme keagamaan sengaja diciptakan untuk menopan pemerintahan yang kehilangan legitimasi sipil. temuan-temuan yang dikemukakan fakta (fact finding) yang kemukakan mengantar penulis untuk menelusuri pemikiran Abu ala al-Maududi

B. Rumusan Masalah
Berdasar dari uraian latar belakang yang telah dikemukakan, maka rumusan masalah pokok yang menjadi pembahasan penulis adalah bagaimana konsep Abu A’la al-Maududi tentang Theo Demokrasi ?. Sejalan dengan rumusan masalah pokok tersebut, maka pembahasan ini dibatasi dalam beberapa sub masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana biografi Abu A’la al-Maududi ?
2. Bagaimana ide-ide Abu A’la al-Maududi tentang Theo Demokrasi?

-----------
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Abu A’la al-Maududi
Abu A’la al-Maududi berdasarkan data yang diperoleh penulis lahir di Aurangabad India Selatan, pada tanggal 25 September 1903 dan wafat pada tanggal 23 September 1979 di salah satu rumah sakit New York Amerika Serikat. (Muktafi Fahal, 1999: 119) dia masih dalam lingkungan keturunan Rasulullah saw, karena itu ia di beri gelar dengan Sayyid, keluarga Abu A’la al-Maududi masih keturunan wali sufi besar tarekat Chishti yang membantu menanamkan beni Islam di bumi India.

Ayah Abu A’la al-Maududi, Ahmad Hasan seorang ahli fiqhi dan orang yang sangat shaleh. Abu A’la al-Maududi adalah anak yang paling bungsu dari tiga bersaudara. Setelah memperoleh pendidikan dirumahnya ia masuk sekolah menengah madrasah Faqwaniyah, suatu madrasah yang menggabungkan pendidikan Barat modern dengan pendidikan Islam tradisional. Abu A’la al-Maududi menyelesaikan pendidikan menengahnya dengan sukses lalu masuk perguruan tinggi Darul Islam di Hiderabad. Tetapi pada waktu itu pendidikan formalnya terganggu akibat bapaknya sakit yang kemudian meninggal Walaupun demikian Abu A’la al-Maududi tetap melanjutkan pendidikan di luar lembaga-lembaga pendidikan formal.
Pada permulaan tahun 1920-an Abu A’la al-Maududi telah menguasai bahasa Arab, Persia dan Inggris di samping bahasa ibunya, Urdu, untuk mempelajari masalah-masalah yang menjadi perhatiannya secara bebas. Jadi sebagian besar apa yang ia pelajari itu di peroleh dengan belajar sendiri, sekalipun dalam waktu yang singkat la dapat memperoleh petunjuk dan pendidikan yang sistematis dari guru-gurunya yang cakap.

B. Ide dan Gasan Abu A'la al-Maududi tentang Theo-Demokrasi
Abu A'la al-Maududi berpendapat bahwa terdapat tiga dasar keyakinan atau anggapan yang melandasi pikiran-pikirannya tentang konsep Negara dalam persfektif Islam yaitu:
  1. Islam adalah agama yang paripurna lengkap dengan petunjuk untuk mengatur semua segi kehidupan manusia, termasuk kehidupan politik dengan arti di dalam Islam terdapat pula sistem politik. Oleh karenanya dalam kehidupan umat Islam dengan menunjuk kepada pola semasa al khulafa al-Raasyidun sebagai model sistem Negara menurut Islam.
  2. Kekuasaan tertinggi dalam Istilah politik disebut kedaulatan, adalah pada Allah, dan umat manusia hanyalah pelaksana-pelaksana kedaulatan Allah tersebut sebagai khalifah-khalifah Allah di bumi. Dengan demikian maka kedaulatan rakyat tidak dapat dibenarkan. Umat manusia sebagai pelaksana kedaulatan Allah harus tunduk pada hukum-hukum sebagaina terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
  3. Sistem politik Islam adalah sistem universal. Dan tidak mengenal batas-batas dan ikatan-ikatan geografi, bahasa dan kebangsaan. 

Dari ketiga dasar keyakinan atau anggapan tersebut, maka lahirlah suatu konsep kenegaraan Islam yang pokok-pokonya adalah sebagai berikut:
1. Sistem kenegaraan Islam tidak dapat disebut demokrasi, oleh karena sistem demokrasi kekuasaan Negara itu sepenuhnya ditangan rakyat, dalam arti bahwa undang-undang diubah dan diganti semata-mata berdasarkan pendapat dan keyakinan rakyat. Sistem politik Islam lebih tepat disebut teokrasi. akan tetapi berbeda dengan teokrasi di Eropa. Sedangkan menurut penulis teokrasi dalam Islam kekuasaan umat Islam itu berada ditangan umat Islam yang malaksanakannya sesuai al-Qur’an dan Sunnah.
Konsep kenegaraan yang di anut al Maudidi tersebut berawal dari keyakinannya bahwa ajaran tauhid yang menjadi dasar dari seluruh ajaran Islam, dengan sendirinya membawa implikasi terhadap dianutnya kedaulatan Tuhan di dalam Negara Islam. Jadi tema demokrasi yang selama ini dipakai, diganti dengan tema tauhid.
Jalaluddin Rakmat menulis bahwa banyak pemikir Islam tidak lagi mengunakan istilah demokrasi. Ideom-ideom demokrasi seperti konsep kebebasan, persamaan di masukkan dalam tema tauhid. Dalam tauhid ada kebebasan manusia, ada pengakuan bahwa suatu kelompok manusia tidak boleh menindas kelompok yang lain. Hal tersebut bisa dimaklumi kemudian jika buku-buku mutakhir pemikiran Islam, tidak lagi menggunakan istilah demokrasi, tetapi meluaskan makna tauhid.
2. Pemerintah atau badan eksekutif hanya dibentuk oleh umat Islam, dan pada merekalah hak untuk memecatnya dari jabatannya. Demikian juga penyelesaian soal-soal (kenegaraan) Islam harus diputuskan oleh kesepakatan umat Islam.
Sistem politik Islam adalah sistem konstitusional yang dibentuk atas syarat-syarat yang digariskan oleh syariah, yang merupakan sistem kehidupan yang lengkap dan meliputi semua tatanan sosial. Syariah menurut al maududi adalah persoalan yang meyentu pada aspek ritual-ritual keagamaan, karakter pribadi, moral, kebiasaan-kebiasaan, hubungan keluarga, unsur-unsur sosial dan ekonomi, hak-hak dan kewajiban warga, sistem hukum, hukum perang dan damai serta hubungan internasional.
Menurut al Maududi syariah tidak menhususkan sifat-sifat stuktural dan fungsi-fungsi sistem politik. Umat Islam seharusnya mengenbankan metode-metode yang tepat untuk pelaksanaan hukum Islam, arah metode tersebut tidak bertentangan dengan perintah-perintah syariah, konsekwensinya para sarjana muslim, dengan mengunakan ijtihad mendukung prinsip peleburan kekuasaan sebagai metode yang paling tepat untuk merealisasikan kehendak Allah swt. Ajaran ini merupakan sumbangan Islam terpenting, terutama bagi teori politik, peleburan kekuasaan ini menghendaki lembaga-lembaga eksekutif, legeslatif dan yudikatif harus saling melengkapi dan menjalankan fungsi melaksanakan kekuasaan otoritatif, memetahkan kebijakan-kebijakan, menjalankan kekuasaan-kekuasaan menyelesaikan perselisihan yang timbul dari kekuasaan yang dijalankan.
3. Kekuasaan negara dilakukan oleh tiga lembaga atau badan-badan legeslatif, eksekutif, dan yudikatif, adalah ketentuan sebagai berikut:
  • Kepala negara juga merangkap kepala eksekutif merupakan pimpinan tertinggi Negara yang bertanggung jawab kepada Allah dan kepada rakyatnya. Dalam melaksanakan tugasnya dia harus berkonsultasi dengan majelis syura yang mendapatkan kepercayaan dari umat Islam atau lembaga legislative.
  • Keputusan pada majelis syura pada umumnya diambil atas dasar suara terbanyak, dengan catatan bahwa menurut Islam banyaknya suara bukan ukuran kebenaran.
  • Kepala Negara tidak harus mengikuti pendapat majelis yang didukun oleh suara terbanyak. Dia dapat mengambil pendapat yang dilakukan oleh kelompok kecil dari majelis, atau bahkan tidak menghiraukan sama sekali pendapat-pendapat majelis, baik mayoritas atau minoritas.
  • Untuk jabatan kepala Negara, untuk keanggotaan majelis syura atau untuk jabatan-jabatan penting yang lain, jagan dipilih orang yang mencalonkan diri untuk jabatan-jabatan tersebut atau mereka yang berupaya untuk menduduki jabatan-jabatan lainnya, karena menurut Abu A’la al-Maududi pesan nabi beliau tidak akan menyerahkan jabatan kepada seseorang yang meminta untuk berusaha mendapatkan jabatan itu.
  • Anggota majelis syura tidak dibenarkan terbagi dalam kelompok-kelompok atau partai-partai masing-masing majelis harus mengemukakan pendapatnya yang benar sebagai perorangan, Islam melarang angota majelis terbagi dalam partai-partai dan kalau harus ada partai hanyalah satu partai, yaitu partai kepala Negara (pemerintah).
  • Badan Yudikatif atau lembaga peradilan itu sepenuhnya berada di luar lembaga eksekutif yang berarti mandiri, oleh karena itu hakim tugasnya adalah melaksanakan hokum-hukum Allah atas hamba-hambanya, bukan mewakili atas nama kepala Negara, tetapi mewakili atas nama Allah.
Menurut Abu A’la al-Maududi ada lima syarat yang harus dimiliki oleh seorang untuk dipilih menjadi kepalah Negara adalah:
  • Beragama Islam
  • Laki-Laki
  • Dewasa
  • Sehat Fisik dan Mental
  • Warga Negara terbaik (Shaleh dan komitmen terhadap Islam.
5. Keanggotaam majelis syura terdiri dari warga Negara yang beragama Islam, dewasa dan laki-laki yang terhitung fasih serta cukup terlatih untuk dapat menafsirkan dan menerapkan syariat-syariat Islam serta menyusun undang-undang yang tak bertentangan dengan al-Qur’an dan sunah Nabi
6 Dalam Negara Islam terdapat dua konsepsi kewarganegaraan: warga Negara yang beragama Islam dan warga Negara bukan Islam, warga Negara yang bukan Islam disebut Dzimmi (rakyat yang dilindungi), mereka mendapat perlindungan Negara dan hak serta kewajiban tertentu seperti hak untuk beribadah sesuai dengan ajaran agamannya.


---------------
BAB III
PENUTUP

Abu A’la al-Maududi lahir di Aurangabad India Selatan, pada tanggal 25 September 1903 dan wafat pada tanggal 23 September 1979, Abu A’la al-Maududi memperoleh pendidikan dirumahnya yang dibina oleh ayahnya dan melanjutkan ke sekolah menengah madrasah Faqwaniyah, suatu madrasah yang menggabungkan pendidikan Barat modern dengan pendidikan Islam tradisional. Abu A’la al-Maududi masuk perguruan tinggi Darul Islam di Hiderabad di samping itu ia juga melanjutkan pendidikan di luar lembaga-lembaga pendidikan formal.
Abu A’la al-Maududi menekankan pentingnya pemerintahan Islam sedapat mungkin mengingatkan diri dengan khulafa’ Rasyidin. Bentuk pemerintahan tidak dapat disamakan dengan bentuk pemerintahan modern apapun kategori ini di Istilahkan oleh Abu A’la al-Maududi adalah Theo-Demokrasi” untuk menyebut pemerintahan demokrasi ketuhanan, karena pemerintahan seperti inilah kaum muslimin diberi kedaukatan terbatas di bawah kekuasaan Tuhan.

--------------------
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mukti. Alam Pemikiran Islam Modern di India dan Pakistan. Cet. IV; Bandung: Mizan, 1998
fahal, Muktafi. Falsafah al-Tarbiyat al-Islam³, diterjemahkan oleh Hasan Langulung dengan Judul Falsafah Pendidikan Islam. Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1979
Maarif, Syafii Mencari Autentisitas dalam Kegalauan Cet. I; Jakarta: PSAP, 2004
Moten, Abd. Rasyid. Political Scence: An Islamic PersPective, New York: Holt Rinchat and Winston Inc., 1973
Qardawy, Yusuf. Min Fiqh ad-Daulah fil Islam Makamatuha Ma'alimuha Thabi 'atuha Manqituha min ad-Dimokratiyah Wataadudiyah wa al-Mar'ah wa Qairul Muslimin, diterjemahkan oleh Syarif Halim, Fiqih Negara. Cet. II; Jakarta: Rabbani Press, 1999.
Rakhmat ,Jalaluddin. Catatan Kan Jalal: Visi media Politik dan Pendidikan. Bandung: Rosda Karya
Sirry, Mun'im A. Dilema Islam Dilema Demokrasi; Pengalaman Baru Muslim dalam Transisi Indonesia. Cet. I; Jakarta: PT. Gugus Press, 2002
Sjadzali Munawir, Islam dan Tata Negara. Edisi V, Jakarta; UI Press, 1993
Shipman, M.D., Education and Modernization. Cet. I; Londong: Faber, 1972
Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi Telaah Konseptual dan Historis. Cet. I; Jakarta: Gaya Media, 2002


Read More