Tampilkan postingan dengan label Tasawuf. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tasawuf. Tampilkan semua postingan
Published November 13, 2011 by with 0 comment

REFORMASI SUFISTIK (Refleksi atas Pemikiran Jalaluddin Rakhmat)

Memadukan antara Tasawuf Falsafi dan Tasawuf Akhlaki
Ada dua varian pemikiran tasawuf yaitu tasawuf falsafi dan tasawuf akhlaki. Tasawuf yang pertama lebih mengarah pada pergulatan pemikiran spekulatif dan intuisi rasa, lebih banyak berkembang di dunia Syi’ah. Penganutnya seperti Ibnu Arabi dan Suhrawardi. Sedangkan tasawuf yang kedua mengarahkan pada perbaikan akhlak dan moral seperti yang dianut oleh Al-Gazali. Dalam konteks keindonesiaan dapat dilacak pada ajaran Hamzah Fanzury dan Muhyiddin Al-Jawi yang bercorak falsafi sedangkan akhlaki (sunni) pada Nuruddin al-Raniri, Abd. Samad al-Palembani dan Hasyim Asyari.
Fenomena yang terjadi sekarang nampaknya masih terjadi varian-varian tersebut. Dan ternyata pada diri Jalaluddin Rakhmat antara tasawuf falasafi dan tasawuf akhlaki mengkristal menjadi satu. Hal terjadi karena akar-akar tasawuf dapat dilacak sampai pada pemikiran spekulatif Syi’ah yang memang mumnya falasafi, akan tetapi Jalaluddin juga sangat kental warna akhlakinya. Realitas ini tidak mengherangkan pada diri seseorang memadu dua varian sekaligus, Suhrawardi (al-hikmah Isyraqiyyah) dan Mulla Sadra (al-Hikmah al-Muta’aliyah) juga memadu antara pemikiran tasawuf dan filsafat serta pemikiran persia klasik sekaligus.
Sebagai contoh tulisan-tulisan banyak diilhamai oleh pemikiran Ali bin Abi Thali dan Ja’far Shadir serta Ali Zainal Abidin (Syi’ah istna Asyariyah), Ibnu Arabi, Al-Gazali (Sunni), Mulla Sadra, Ali Syariati, Murthadha Mutahahhari, Imam Khomeini (juga banyak dipengaruhi Ibnu Arabi), Sayyed Hosein Nasr (Syi’ah kontemporer) dan sebagainya. Jalaluddin menulis bahwa meskipun Ibnu Arabi adalah seorang Sunni tetapi lebih banyak dikaji di dunia Syi’ah. Ia kemudian mengutip pandangan Ibnu Arabi wahdah al-wujud tentang realitas dan entitas.
Ibnu Arabi membagi yang ada menjadi dua macam saja : Huwa dan La Huwa (Dia dan bukan Dia). Sekarang tengoklah ke sekitar. Apa yang disaksikan ? Matahari, pepohonan, hewan, orang lain, atau diri Anda—semuanya—adalah La Huwa. Allah swt.berfirman dalam Qs. Al-Baqarah (2): 115.“Kemanapun kalian menghadapkan wajah kalian, di sana ada wajah Allah”. Sekarang hadapkanlah wajah Anda kemana saja. Apa yang Anda lihat ? Wajah-wajah selain Allah ? La Huwa ? Alquran pasti tidak salah. Yang salah diri kita, karena ihwal kita yang kotor atau karena diri kita belum dihiasi dengan sifat-sifat Tuhan. Dia tidak tampak pada kita. “penampakan” Tuhan itu disebut tajalli . Ketika tajalli, ke mana pun kita arahkan wajah, kita hanya akan melihat Huwa. Oleh karena itu, bersihkan diri kita lebih dahulu, kemudian hiasi diri kita dengan akhlak Tuhan. Yang pertama disebut takhalli.yang kedua disebut tahalli.
Kemudian pada kesempatan yang lain, Jalaluddin mengutip puisi Ibnu Arabi yang merupakan kata “syatahat al-Sufiyah”;“Dia memujiku maka aku memuji-Nya, Dan Dia menyembahku maka aku menyembah-Nya”
Puisi ini sering dikutip untuk menunjukkan kekafiran Ibnu Arabi. Padahal, kalau dimaknai, puisi ini berarti. “Tuhan, kau mengabdi kepadaku, aku pun mengadi kepada-Mu”. Karena besarnya kasih-sayang-Nya, maka sepanjang hidup kita, Dia “mengabdi” kepada kita, melayani seluruh keperluan kita. Seakan-akan Dia tidak mempunyai hamba selain kita. Demikian katanya.
Jalaluddin juga sangat banyak dipengaruhi pandangan Imam Al-Gazali, bahkan sejak muda ia telah membaca Ihya ulumuddin karya masterpiece ini. Mengenai masalah-masalah istilah ruh. qalb, akal dan nafs nampak Jalaluddin sangat dipengaruh oleh Al-Gazali. Contohnya ketika ia menulis;
Menurut Al-Gazali, istilah ruh, (ruh), qalb (kalbu), aql (akal) dan nafs (jiwa) sama-sama mempunyai dua makna. Kata qalb bermakna hati dalam bentuk fisik maupun hati dalam bentuk non-fisik. Hati dalam bentuk fisik adalah bagian tubuh manusia yang sangat penting karena menjadi pusat aliran darah ke seleruh tubuh qalb adalah jantung….Makna hati yang kedua yaitu; lathifah rabbaniyah ruhaniyah; sesutau yang lembut yang berasal dari Tuhan yang bersifat ruhaniyah. Lathifah itulah yang membuat kita mengetahui dan merasakan sesuatu. Kata Alquran, hati itu mengetahui, merasakan, juga memahami. Jadi, hati adalah satu bagian ruhani yang kerjanya memahami sesuatu. Itulah qalb.

Note:
Makalah ini belum lengkap, maka silahkan download versi lengkapnya....
Read More
Published September 20, 2011 by with 0 comment

Rabi’ah al-Adawiah Riwayat Hidup dan Mahabbah Ilahiah

A.Siapa dan Bagaimana Riowayat Hidup Rabi'ah al-Adawiah ?
Rabi’ah al-Adawiah adalah putri dari Ismail al-Adawiah, sehingga nama beliau terkadang ditulis oleh sejarawan Rabi’ah binti Ismail al-Adawi. Beliau lahir di Basrah sekitar tahun 95 H/ 713 M. Dan berpulang kerahmatullah pada tahun 185 H/810 M juga di kota Basrah.
Beliau diberi nama Rabi’ah al-Adawiah karena merupakan putri ke-4 dari 3 putri lainnya (kakaknya). Beliau berasal dari keluarga ekonomi sulit, bahkan ketikan beliau dilahirkan, minyak untuk penerangan lampu pada saat kelahirannya pun tak dimiliki keluarganya, karena kemiskinan yang berkepanjangan menimpa keluarganya sampai-sampai beliau berpindah status menjadi hamba sahaya.

1.Masa Muda Rabi’ah al-Adawiah
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa beliau adalah seorang hamba sahaya pada usia kecilnya. Ini terjadi ketika kedua orangtuanya meninggal dunia, sehingga secara terpaksa beliau terjual kepada seorang majikan yang sangat kejam dengan harga yang sangat murah. Lidah Attar telah menuturkan ahwal masa kanak-kanak Rabi’ah al-Adawiah:
Pada suatu malam, ketika Rabi’ah dilahirkan, dituturkan bahwa tak sehelaipun pakaian yang dapat digunakan untuk mengolesi pusarnya. Ketika itu, ayah Rabi’ah pergi ke tetangga-tetangganya untuk meminta bantuan. Ini atas permintaan istrinya, sekalipun sebelumnya ayah Rabi’ah telah memutuskan untuk tak meminta bantuan kepada selain Allah. Namun pada kali ini beliau dalam kondisi terdesak, sehingga secara terpaksa beliau melakukannya. Akan tetapi, tetap beliau tidak mendapat bantuan apa-apa dari tetangganya karena mereka semua sudah tidur . Kemudian ayah Rabi’ah kembali kerumah dan memberitahukan halnya, seketika itu bersedihlah sekeluarga yang pada akhirnya mereka juga tertidur dalam suasana sedih.
Pada saat tertidur, ayahnya Rabi’ah melihat Nabi Saw . Tiba-tiba muncul dihadapannya seraya berkata “Janganlah bersedih ! Engkau telah dianugrahi anak perempuan yang telah menjadi wali besar, syafaatnya dinantikan oleh 70.000 orang dari umatku” lalu Nabi kemudian memerintahkan kepadanya, “ Besok kirimlah surat ke Isa Radan (Amir Basrah) dengan mengingatkannya melalui isyarat ini, bahwasanya setiap malam dia berselawat 100 kali kepadaku, dan pada malam jum’at 400 kali(akan tetapi, pada malam jum’at ini, Ia telah melupakannku. Katakan kepadanya bahwa sebagai tebusannya dia harus memberikan 400 dinar
Pada saat fajar menyingsing, beliau terbangun sambil berurai air mata. Kemudian beliau dalam suasana kesedian. Menceritakan dan menuliskan mimpinya itu di dalam surat. Usai surat itu ditulis. Dikirimkan ke Basrah dan diserahkan kepada kepala rumah tangga istana untuk diberikan kepada Amir . Setelah membaca surat tersebut Isa Radan memerintahkan kepada prajuritnya untuk membagi-bagikan kepada orang-orang miskin sebanyak 10.000 dinar sebagai tanda syukur karena Nabi telah menyebut namanya. Terkhusus kepada ayah Rabi’ah, beliau mengirimkannya 400 dinar, seraya berkata meskipun aku sangat ingin agar orang ini (ayah Rabi’ah) mendatangiku, Akan tetapi, aku lebih memilih saya yang mendatanginya dan membersihkan debu yang ada ditelapak kakinya agar jenggotku. Demi Allah, kapan saja dalam membutuhkannya ‘maka beritahulah aku’
Sepeninggalan rang tua Rabi’ah, kelaparan hebat melanda kota Basrah. Semua saudara Rabi’ah berpencar, sementara dia sendiri jatuh di tangan seorang yang kejam melalangnya sebagai seorang budak dengan harga beberapa dirham saja. Pada suatu malam, tiba-tiba dihampiri oleh seseorang asing dan dia merasa ketakutan. Pada mulanya dia bermaksud untuk melarikan diri, namun dia terjatuh dan kakinya patah. Dan dalam keadaan bersujud di lumpur, dia melantunkan rintihan nurani dengan mengatakan, “ Ya Allah, aku ini orang asing yang tak berayah dan tak beribu lagi. Aku dijual sebagai budak dan kini pergelangan kakiku patah. Sekalipun demikian aku tak akan merasa sedih atas sesuatu yang menimpa diriku. Aku hanya mengingingkan ridha-Mu kepadaku. Sehingga aku bisa mengetahui apakah aku sudah memperoleh kerendahan-Mu atau belum. Seketika itu, beliau mendengarkan suara gaib, “janganlah bersedih, sebab di akhirat kela, niscaya engkau akan mendapatkan kedudukan yang begitu dibanggakan, bahkan oleh mereka yang dekat kepada Allah di Surga”
Lintas, Rabi’ah kembali kerumah majikannya dan mulai berpuasa secara rutin serta melaksanakan shalat sepanjang malam. Pada siang hari, beliau selalu sibuk membantu majikannya. Suatu malam beliau shalat lail dan tiba-tiba majikannya terbangun menyaksikan Rabi’ah yang sedang berdoa seraya bersujud di tanah. Dalam doanya beliau melantunkan, “Ya Allah, engkau tahu betul, satu-satunya yang kudambakan adalah benar-benar tunduk kepada perintah-Mu, cahaya mataku mengabdi kepada kerajaan-Mu. Jika itu terserah kepadaku, aku tidak akan berhenti beribadah kepada-Mu sesaatpun. Namun, engkau telah membuatku tunduk kepada seorang makhluk, karena itu, aku terlambat datang dalam beribadah kepada-Mu.
Setelah mendengar ucapan ini, tuanya bangkit dan merenung sendirian serta berfikir sambil mengatakan bahwa wanita seperti ini tidak pantas diperbudak. Keesokan harinya ia memanggil Rabi’ah lalu memerdekakannya sambil berkata, “Jika engkau berkenaan tinggal bersama kami, maka kami semua menerimamu dan melayanimu, akan tetapi jika sekiranya engkau tidak menginginkan tawaran ini, maka bisa pergi kemana saja semaumu. Rabi’ah ternyata cenderung kepada opsi kedua. Lalu beliau memfokuskan diri untuk beribadah dan beramal shaleh. Konon bahwa beliau 1x24 jam terkadang melaksanakan shalat sampai 1000 rakaat
Dalam salah satu sebuah riwayat disebutkan bahwa beliau pernah bekerja sebagai seorang peniup seruling untuk beberapa waktu lamanya. Kemudian beliau bertaubat dan hidup sebagai tunawisma diantara puing-puing keruntuhan bangunan, beliau berkamar untuk menyendiri beribadah maksimal semata. Akhirnya, beliau berangkat ke Makkah disanalah beliau betul-betul merasakan suasana hidup di padang pasir.

2.Rabi’ah dan Perkawinan
Sejumlah literatur menggambarkan bahwasanya Rabi’ah al-Adawiah tidak pernah menikah sepanjang usianya yang lebih kurang 90 tahun. Namun, tidak dapat dipungkiri kalau ada diantara literatur lain yang menyebutkan bahwa beliau pernah dinikahi oleh Abd Wahid Ibn Zayd. Akan tetapi, menurut hamat penulis Rabi’ah yang dimaksud bukanlah Rabi’ah al-Adawiah melainkan Rabi’ah al-Damsydy karena perempuan tersebut memang termasuk wanita sufi yang disebutkan oleh sejarawan sederetan dengan Rabi’ah al-Adawiah, pendapat ini mendapat justifikasi dari Javad Nurbaksh.
Ketika beliau ditanya, “kenapa tidak menikah?” beliau menjawab berkali-kali bahwa “ikatan perkawinan berkenaan hanya dengan wujud (jasad), adakah wujud dalam diriku ? Aku adalah bukanlah milikku sendiri, melainkan aku adalah milik-Nya. Dalam riwayat yang lain beliau menjawab, sesungguhnya dalam hatiku tidak ada lagi ruang yang ditempati untuk menyimpang rasa cinta kepada selain Allah.
Jawaban lain yang ditemukan, ketika beliau dilamar oleh Abd Wahid, Rabi’ah tidak menyambut baik lamaran itu. Bahkan beliau minder menjawabnya “wahai laki-laki seksual, carilah perempuan sensual lain yang sama dengan engkau. Apakah engkau melihat adanya tanda-tanda seksual pada diriku ?”. Begitupula beliau memberi jawaban terhadap lamaran Hasan al-Basry dengan ucapan yang sangat bijaksana dan didalamnya termuat maksud-maksud ketidaksiapan beliau untuk bersuami dengan siapapun orangnya.

3.Kezuhudan Rabi’ah al-Adawiah
Rabi’ah al-Adawiah adalah seorang asketis (zahidan) yang menjalani hidupnya dalam keadaan miskin. Beliau sebenarnya berulang kali ditawari bantuan dan bahkan kemewahan dari berbagai sahabatnya dan orang yang hendak melamarnya. Namun, mereka semua diabaikan oleh Ra’biah. Beliau tidak pernah sedikitpun merasa tergiur dengan kemewahan atau sesuatu yang mengalamatkan kemewahan duniawi. Ini pertanda sifat dan sikap seorang asketis ada pada kepribadian beliau. Bahkan prestasi beliau dalam hal kezahidan (asketisisme) cenderung mengungguli para sufi lainnya.
Al-Jahiz seorang generasi tua mengatakan bahwa beliau pernah beberapa kali ditawari untuk diberikan kepadanya seorang budak (khadimah) yang dapat melayani kebutuhan hidupnya. Namun, beliau menjawab, “sungguh aku sangat malu meminta kebutuhan duniawi kepada pemilik dunia ini. Bagaimana aku harus memintanya kepada selain pemiliknya ? Jawaban tersebut mencerminkan karakteristik seorang zahid menanggapi perkara dunia.

Note:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan download:
Rabi'ah al adawiah Versi pertma
Rabi'ah al adawiah versi kedua
Read More
Published Mei 08, 2011 by with 0 comment

Perkembangan Organisasi Tarekat di Indonesia

A. Pengertian Tarekat
Dalam memahami pengertian tarekat, sesungguhnya dapat dilihat dari dua segi, yaitu dari segi bahasa (etimologi) dan dari segi istilah (terminologi). Pengertian tarekat bila dilihat dari segi bahasa, maka tampaknya ia berasal dari bahasa Arab, yaitu: dari kata thariqah (bentuk jamaknya adalah thuruq) yang berarti jalan atau al-Sabil. Dalam literatur yang berbahasa Inggris, misalnya dalam buku The Encyclopedia of Relegions, rupanya kata tersebut juga diartikan jalan atau road or path . Demikian pula John L. Esposito dalam bukunya The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World, ia mengartikan kata tarekat tersebut dalam arti jalan atau path or way .

Selain berarti jalan, kata tarekat tersebut di atas, juga dapat berarti cara atau metode . W.J.S. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusunnya, di samping kata tarekat itu diartikan jalan, juga telah dikemukakan beberapa artinya yang lain, misalnya dalam arti jalan menuju kebenaran dalam tasawuf, cara atau aturan hidup dalam keagamaan atau dalam ilmu kebathinan, dalam arti sebagai persekutuan para penuntut ilmu tasawuf . Jadi, dari segi bahasa, kata tarekat itu dapat dipahami dalam arti jalan, cara atau metode. Setelah dikaitkan dengan kata tasawuf, maka ia berarti jalan menuju kebenaran dalam tasawuf, atau dalam arti sebagai persekutuan para penuntut ilmu tasawuf.

Pengertian tarekat bila dilihat dari segi istilah, kelihatannya telah banyak pakar yang telah merumuskan defenisinya. Di antaranya dapat disebutkan di sini pendapat Harun Nasution. Menurutnya, tarekat itu adalah jalan yang harus ditempuh seorang calon sufi dengan tujuan berada sedekat mungkin dengan Tuhan . Selanjutnya beliau jelaskan,bahwa tarekat itu kemudian mengandung arti organisasi di mana tiap tarekat mempunyai syekh, upacara ritual dan zikir sendiri . H.Abu Bakar Aceh dalam bukunya Pengantar Ilmu Tarekat Kajian Historios tentang Mistik, telah mengemukakan bahwa tarekat itu artinya jalan, petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadah sesuai dengan ajaran yang telah ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi dan dikerjakan oleh sahabat dan tabi’in, turun-temurun sampai kepada guru-guru, sambung menyambung dan rantai-berantai. Di samping itu, J. Spencer Trimingham juga telah mengemukakan bahwa tarekat adalah suatu metode praktis untuk membimbing seorang murid secara berencana dengan jalan pikiran, perasaan, dan tindakan yang terkendali terus menerus kepada suatu rangkaian dari tingkatan-tingkatan maqamat untuk dapat merasakan hakekat yang sebenarnya.

Berdasarkan pendapat sejumlah pakar tersebut di atas, maka telah dapat dipahami, bahwa yang dimaksud tarekat adalah jalan atau metode praktis yang berupa petunjuk dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan yang diyakini berasal dari Nabi, lalu kemudian berkembang menjadi perkumpulan-perkumpulan dalam bentuk pendidikan kerohanian yang terorganisir di bawah bimbingan seorang Syekh dengan sejumlah murid yang belajar kepadanya. Tarekat sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka orang yang melakukan tarekat sesungguhnya tidak dibenarkan untuk meninggalkan syariat, bahkan pelaksanaan tarekat merupakan pelaksanaan syariat agama. Oleh karena itu, melakukan tarekat tidak bisa sembarangan. Orang yang bertarekat harus dibimbing oleh guru atau syekh yang disebut mursyid. Syekh inilah yang bertanggung jawab, memberikan bimbingan dan mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahiriah dan rohaniah, terutama dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan berdasarkan Alquran, sunnah Rasul dan ijma’.

Untuk dapat melaksanakan tarekat dengan baik, seorang murid hendaknya mengikuti jejak guru atau mursyidnya, melaksanakan perintah dan mengikuti anjurannya. Seorang murid tidak boleh mencari-cari keringanan dalam melaksanakan amaliah yang sudah ditetapkan oleh mursyidnya dan harus mengekang hawa nafsunya untuk menghindari dosa atau noda yang dapat merusak amal. Ia juga harus memperbanyak wirid, zikir, doa dan memamfaatkan waktu seefektif dan seefesien mungkin. Biasanya seorang pengikut tarekat agar dapat melaksanakan aktivitas tarekat dengan baik, ia dimasukkan ke suatu tempat khusus yang dinamakan ribat (tempat belajar), zawiyah atau Khanqah yang merupakan tempat ibadah kaum sufi. Ditempat inilah, amaliah tarekat dilaksanakan, baik berupa zikir, wirid, ratib , muzik, dan mengatur cara bernafas pada waktu melaksanakan zikir tertentu.

B. Tarekat-tarekat yang Berkembang di Indonesia dan Ulama Pertama yang Membawanya Masuk ke Negeri ini.
Pada dasarnya Indonesia merupakan lahan yang subur sebagai tempat tumbuh dan berkembangnnya sejumlah tarekat-tarekat sufi, baik yang digolongkan tarekat sufi yang mu’tabar (terkenal) maupun yang dikategorikan sebagai tarekat lokal. Sejumlah tarekat mu’tabar yang berkembang di negeri yang memperoleh julukan zamrud khatulistiwa ini, ada sumber yang menyatakan sebanyak tujuh buah. Nama-nama ke tujuh buah tarekat yang dimaksud adalah: Qadiriyah, Rifa’iyah, Naqsyabandiyah, Sammaniyah, Khalwatiyah, al-Haddad dan Khalidiyah.
Sejumlah tarekat mu’tabar yang berkembang di Indonesia tersebut di atas, masing-masing didirikan oleh seorang ulama besar lagi kenamaan. Tarekat Qadiriyah misalnya didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jailani (1077-1166 M.), tarekat Rifa’iyah didirikan oleh Syekh Ahmad bin Ali Abul Abbas al Rifa’i (w.578 H./1106 M.), tarekat Naqsyabandiyah didirikan oleh Syekh Muhammad bin Bahauddin al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandiy (w.17-791 H.), tarekat Sammaniyah didirikan oleh Syekh Muhammad Samman (w.1720 M.), tarekat Khalwatiyah didirikan oleh Syekh Umar Zhiruddin al-Khalwatim (w.1397 M.), tarekat al-Haddad didirikan oleh Sayyid Abdullah bin Alawi bin Muhammad al-Haddad (1044 H.-?), dan tarekat Khalidiyah yang didirikan oleh Syekh Sulaiman Zuhdi al Khalidi.
Sebenarnya, selain tujuh buah tarekat sebagaimana yang telah disebutkan,masih ada beberapa buah tarekat yang dapat dipandang sebagai tarekat mu’tabar yang berkembang di Indonesia, misalnya tarekat Syattariyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah al-Syattari (w.633 H.), tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang didirikan oleh Syekh Ahmad Khatib Sambas(w.1878 M.), tarekat Tijaniyah yang didirikan oleh Syekh Ahmad al-Tijani (1737-1815 M.), dan tarekat Ahmadiyah atau Idrisiyah yang didirikan oleh Syekh Ahmad bin Idris (1760-1837 M.). Dua buah tarekat yang disebut terakhir, Martin Van Bruinessen menyebutnya tarekat Neo Sufi.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, maka silahkan download lengkapnya...
Read More
Published Maret 13, 2011 by with 0 comment

IBNU ‘ARABI (Konsep Wahdah al-Wujud)

Tasawuf dalam Islam timbul bersamaan dengan agama Islam itu sendiri, yaitu semenjak Nabi Muhammad Saw. diutus menjadi rasul untuk segenab manusia dan seluruh alam semesta. Fakta sejarah menunjukkan bahwa sebelum Muhammad diangkat menjadi rasul, berulang kali telah melakukan tahannus dan khalwat di Goa Hira. Di sampaing untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota Mekkah yang sedang mabuk memperturutkan hawa nafsu keduniaan, Nabi Muhammad juga mencari jalan untuk membersihkan hati dan mensucikan jiwa dari noda-noda yang menghinggapi masyarakat waktu itu.
Mustafa Zahri mengemukakan apa yang disinyalir oleh Syekh A. Baqi Surur bahwa tahannus Rasulullah di Gowa Hira, merupakan cahaya-cahaya pertama dan utama bagi nur tasawuf. Itulah benih-benih pertama kehidupan rohaniyah yang disebut ilham hati atau renungan-renungan rohaniyah yang merupakan gambaran lengkap kehidupan sufi yang sebenarnya. Dari sinilah sedikit demi sedikit lahir mazhab-mazhab rohaniyah yang terjun ke gelombang dunia tasawuf.
Tasawuf atau sufisme sebagaimana mistisisme di luar agama Islam, mempunyai tujuan memperolah hubungan langsung dan disadari benar bahwa seseorang telah berada di hadirat Tuhan. Intisari dari mistisisme termasuk di dalamnya sufisme, adalah kesadaran adanya hubungan yang komunikatif dan dialogis antara roh manusia dengan Tuhan dengan jalan mengasingkan diri dan berkontemplasi.
Kesadaran berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Itu mengambil bentuk ittihad, yakni bersatu dengan Tuhan. Akan tetapi, sepanjang perjalanan sejarahnya tasawuf pun tak luput dari kecurigaan dan kecaman keras dari golongan Islam ortodoks. Pertentangan antara golongan yang pro dan kontra terhadap tasawuf misalnya, pertentangan antara ahli tasawuf dengan ahli fiqhi, antara ahli hakikat dengan ahli syari’at, antara penganut ajaran isoterik (batin) dan penganut ajaran eksoterik (dzahiri). Komplik terbuka tersebut tidak dapat dihindarkan, bahkan semakain tajam sejak munculnya kecenderungan pada ajaran ittihad Abu Yazid al-Bustami (w. 261/875) dan ajaran hulul Husain Ibnu Mansur al-Hallaj (w. 309/922).
Ajaran-ajaran ini dikecam oleh para ulama ortodoks karena dianggap bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah. Komplik ini memuncak dengan peristwa tragis, yaitu hukuman mati bagi al-Hallaj di tiang gantungan. Di kalangan sufi memang ada upaya mendamaikan antara tasawuf dengan syari’at sejak abad II Hijriah. Gerakan ini dipelopori oleh Abu Zaid al-Harraz (w. 286/899), Abu al-Qasim Muhammad al-Junaid (w. 298/911), Abu Bakar Muhammad al-Kalabadzi (385/995). Namun demikian, hubungan baik yang telah dibina antara tasawuf dengan syari’at ternyata tidak dapat dipertahankan cukup lama. Hubungan ini mulai retak terutama ketika kecenderungan kepada pantheisme muncul kembali dalam bentuknya yang lebih jelas dalam ajaran wahdah al-wujud oleh Muhyi al-Din al-Arabi.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan download selengkapnya...
Read More
Published Januari 09, 2011 by with 0 comment

HUSAIN IBNU MANSHUR AL-HALLAJ ( Konsep al-Hulul )

Nama al-Hallaj mencuat kepermukaan dan menjadi buah bibir para ulama dan sufi sesamannya serta menjadi tema diskusi masyarakat akademis hingga hari ini. Ketenaran nama al-Hallaj adalah karena faham “al-Hulul” yang merupakan pengalaman batiniyah diungkapkan kepada masyarakat umum. Pengalaman al-Hallaj tersebut tidak hanya menggerakan masyarakat awam, bahkan mengejutkan para sufi sezamannya.
Al-Hallaj mengatakan bahwa barang siapa yang menyangka ketuhanan bercampur dengan keindahan menjadi satu atau keindahan masuk ke dalam ketuhanan, mka kafirlah orang itu, sebab Allah sendiri dalam zat-Nya dan sifat-Nya dari pada makhluk bentuk apapun.
Teofani “Ana al-Haq” yang merupakan pengalaman kesatuannya dengan Tuhan, mendapat tanggapan kontroversial. Ada yang memujinya dan salut kepada al-Hallaj dan ada pula yang mencacimakinya. Reaksi terhadap pernyataan tersebut tidak hanya menjadi bahan pembicaraan kontroversial, tetapi lebih dari itu. Pernyataan tersebut selanjutnya mengantarkan al-Hallaj ke tiang gantungan yang mengakhiri hayatnya. Al-Halalj bukan saja tokoh sejarah, tetapi juga sebuah legenda. Kisah-kisah tentang dirinya masih terus dikenang hingga sekarang ini.
Al-Hallaj yang terkenal dengan faham al-Hulul-nya yang mendasarkan dua sifat ketuhanan yang disebutnya اللا هوت dan الناسوت (manusia mempunyai sifat ketuhanan dan Allah mempunyai sifat kemanusian) yakni Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia setelah manusia mampu melenyapkan sifat kemanusiannya melalui fana. Ketika al-hulul berlangsung keluarlah syatahat dari lidah al-Hallaj yang berbunyi “أناالحق”.

A. Riwayat hidup
Al-Hallaj nama lengkapnya adalah Mughits Husain bin Manshur al-Hallaj Dia dilahirkan di Baidha Persia pada tahun 244 H/858 M. Pada usianya yang sangat belia, al-Hallaj sudah mempelajari tata bahasa Arab, menghafal al-Qur’an dan tafsirnya serta mempelajari teologi. Ia belajar kepada seorang sufi terkenal yaitu Sahl al-Tsauri. Sehabis belajar dengan sufi tersebut ia berangkat ke Bashrah dan belajar pada Amar ibnu Utsman al-Makki seorang sufi terkemuka di zamannya, tetapi tidak lama kemudian ia pindah. Pada tahun 264 H/878 M., ia pergi ke Bagdad dan balajar pada Junaid al-Bagdadi, pemuka sufi di sana.
Al-Hallaj tidak lama berguru kepada Junaid al-Baghdadi, kemudian pergi meninggalkan gurunya karena berbeda pendapat. Al-Hallaj terkenal sebagai sufi yang gemar berkelana ke berbagai daerah, sehingga al-Hallaj banyak berkenalan dan sekaligus belajar pada sufi-sufi kenamaan. Ia mengembara ke India dan Asia Tengah, bahkan ada keterangan bahwa ia sampai ke Negeri Cina.
Perjalanan yang beliau lakukan telah memberikan pengalaman yang banyak, sehingga ia mempuyai andil bagi terbentuknya pandangan dan pendirian dan keyakinan keagamaan yang kuat yang berbeda dengan kebanyakan sufi waktu itu. Di usianya ke 53 tahun, ia telah menjadi perbincangan dan isu konflik di tengah-tengah cedekiawan muslim waktu itu disebabkan konsep tasawwufnya yakni al-Hulul yang bergulir di masyarakat.
Al-Hallaj dikenal sebagai seorang sufi dengan syair-syairnya yang menggugah keimanan. Namun, penentangan terhadap konsep tasawufnya mulai berdatangan. Di antaranya datang dari ulama fiqhi terkemuka yaitu Ibn Daud al-Asfahani mengeluarkan fatwa yang mengatakan bahwa ajaran Al-Hallaj adalah sesat. Atas dasar itulah Al-Hallaj dipenjarakan. Akan tetapi setelah satu tahun di penjara, ia dapat melarikan diri dengan pertolongan seorang sipir yang menaruh simpati kepadanya karena melihat kemurnian hidup beliau selama dalam tahanan.
Dalam kondisi yang dilematis, ia melarikan diri ke Sus. Di sana ia bersembunyi selama empat tahun dengan tidak merubah pendirian dan pandangan hidupnya. Akhirnya pada tahun 903 M., ia ditangkap kembali dan dimasukkan kembali ke dalam penjara sampai delapan tahun lamanya.
Delapan tahun dalam penjara, tidak melunturkan pendiriannya. Akhirnya pada tahun 901 M., diadakan persidangan ulama di bawah naungan kerajaan Bani Abbasyiah pada khalifah Al-Muqtadir dengan vonis hukuman mati dengan mula-mula dipukuli, dicambuk dengan cemeti lalu disalib. Kedua kaki dan tangannya dipotong dan lehernya dipenggal. Setelah itu, potongan-potongan tubuhnya ditinggalkan tergantung di pintu gerbang kota Bagdad.
Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Al-Hallaj sebelum digantung ia ditahan delapan tahun. Ketika digantung, dicambuk delapan kali tanpa mengeluh kesakitan. Kemudian barulah kepalanya dipenggal. Namun sebelumnya, ia sempat sembahyang dua rakaat. Setelah itu, kedua kaki dan tangannya dipotong. Badannya dibungkus dengan tikar bambu, kemudian dimasukkan ke dalam nafta lalu dibakar. Abunya dibuang ke sungai sedang kepalanya di bawah ke khurusan. Setelah itu kepalanya diperlihatkan di jalan agar orang-orang mengetahuinya.
Sebesar apakah dosa Al-Hallaj sehingga khalifah al-Muqtadir begitu marah dan tidak mengenal prikemanusiaan dalam memperlakukan Al-Hallaj ? Kematian Al-Hallaj yang menggemparkan dunia tasawuf waktu itu telah melahirkan sikap mutasawwif yang lain untuk lebih moderat. Sebagaimana ungkapan al-Syibli yang telah dikutip oleh Suwarjo dan Abdul Hadi “al-Hallaj dan aku memiliki kepercayaan yang sama, tetapi kegilaanku menyelamatkan diriku sedangkan kecerdasannya telah menghancurkan dirinya”.
Kematian al-Hallaj memang mengharukan. Nicholson sebagaimana yang dikutip A.J Arberry melukiskan keharuan itu:
“Tatkala ia dibawa untuk disalib dan melihat tiang salib serta paku-pakunya, ia menoleh kepada orang-orang seraya berdo’a, yang diakhiri dengan kata-kata: dan hambaMu yang bersama-sama membunuhku ini, demi agama-Mu dan memenangkan karuniamu, ampunilah mereka ya Tuhan dan rahmatilah mereka. Karena sesungguhnya, sekiranya engkau anugerahkan kepada mereka apa yang telah engkau anugerahkan kepadaku, tentu mereka tidak melakukan apa yang mereka lakukan. Dan bila kamu sembunyikan dari diriku yang telah kau sembunyikan dari mereka, tentu aku takkan menderita begini. Maha Agung Engkau dalam segala yang engkau kehendaki”.
Ungkapan itu adalah sebuah isyarat keihlasan seorang sufi sejati yang rela berhadapan dengan resiko apapun tanpa terbesit kata-kata dendam. Meskipun berada di tiang gantungan semata-mata karena kehendak-Nya. Mengenai latar belakang hukuman mati yang ia terima, terdapat berbagai versi. Banyak penulis mengatakan bahwa kematian al-Hallaj disebabkan oleh serangkaian fatwa-fatwa sufinya yang dianggap menyesatkan umat Islam. Namun, dari sekian faktor yang menyebabkan al-Hallaj dihukum penjara dua kali, sampai akhirnya dihukum mati adalah persoalan politik.
Sebagaimana diketahui bahwa sejak pemerintahan al-Muqtadir, negara berada dalam keadaan yang tidak stabil. Kelompok ekstrim Syi’ah Isma’liyah yang dimotori oleh kaum sufi tidak mengakui kepemimpinan pemerintahan Sunni di Baghdad, sehingga mengadakan perlawanan. Para sufi terus melakukan gerakan untuk menggulingkan pemerintahan Abbasyiah, khususnya di daerah Iraq Selatan. Al-Hallaj dihubungkan dengan gerakan tersebut dan perannya sangat menonjol sebagai tokoh Syi’ah Ismailiyah.
B. Ajaran al-Hallaj “al-Hulul”
Al-Hulul secara bahasa berarti nuzul dan iqamah (turun, menetap atau inkarnasi) . Sedangkan menurut istilah ialah faham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusian dalam tubuh itu dilenyapkan.
Paham ini pada awalnya muncul dari pemikiran bahwa Tuhan melihat pada dirinya. Tuhan berdialog dengan dirinya, dialog tanpa huruf dan tanpa bunyi. Tuhan hanya melihat ketinggian dan kemulian zat-Nya. Kecintaan Tuhan ini, menjadi sebab wujudnya sesuatu, yakni Adam. Setelah Tuhan menjadikan Adam, Dia memuliakan, mengagungkan dan mencintainya. Dalam kondidsi demikian, Tuhan berada dalam diri Adam. Hal ini menunjukkan bahwa manusia mempunyai sifat ketuhanan dalam dirinya. Penghormatan Tuhan terhadap Adam dapat dilihat dalam al-Qur’an Surah al-Baqarah (2): 34.
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ(34)
Terjemahnya:
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.
Al-Hallaj memahami ayat tersebut bahwa perintah Tuhan kepada Iblis agar bersujud kepada Adam. Karena dalam diri Adam terdapat roh Tuhan yang menjelma. Pada diri Adam terdapat kekutan lain di luar sifat kemanusian Adam, yaitu roh ketuhanan, sebagaimana juga terjadi pada diri Yesus dalam ajaran Kristiani, Tuhan menjelma dalam dirinya.
Persatuan Tuhan dengan manusia dapat diilustrasikan seperti kita melihat besi disapu api sampai merah. Dalam hal ini sulit bagi kita membedakan mana besi dan mana api atau seperti kita melihat ombak di laut. Kita sulit membedakan mana ombak dan mana air.
Gambaran cinta al-Hallaj kepada Allah dapat dilihat dalam sya’ir-syairnya:
Aku melihat cintaku dengan mata hatiku
Dan dia bertanya, “siapa kamu”?
Aku jawab, “kamu”

Juga terlihat dalam sya’irnya sebagai berikut:
سبحان من أظهرنا سوته سر سنالاهوته الثاقب
ثم بدالخلقه ظاهرا فى صورة الأكل والشارب
Maha suci zat yang menampakkan nasut-Nya
Dengan lahut-Nya, yang cerah seiring bersama
Kemudian ia tampak-Nya di dalam makhluknya
Seperti gambaran orang makan dan minum
Seperti bertemunya (kedipan) kelopak mata

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan download selengkapnya...
Read More
Published Oktober 11, 2010 by with 0 comment

Dzun al-Nun al-Mishriy (Biografi dan Konsep Ma’rifah)

Spritualitas atau tasawuf merupakan bagian yang sangat penting dan fundamental dalam praktek keagamaan. Ajaran-ajarannya berhubungan lansung dengan dimensi Ilahiyah.
Dimensi Ilahiah merupakan sesuatu yang bersifat metafisika (trasendental) yang berada diluar kemampuan indera dan akal manusia sehingga untuk mendapatkan gambaran yang sama tentang-Nya adalah suatu hal yang mungkin sulit terjadi. Menyelami kedalamannya lebih bersifat personal dan subjektif. Hal inilah yang menyebabkan lahirnya perbedaan-perbedaan dan keragaman dari penempuh jalan suluk, seperti: maqam, ahwal ataupun mahabbah, ma’rifah, hulul dan semacamnya.
Ma’rifah sebagai salah satu istilah yang sangat populer dalam tasawuf juga masih menjadi kontroversi dikalangan ulama; apakah ia sama dengan mahabbah, ataupun berbeda dengannya. Dan jika berbeda, manakah yang paling tinggi kualitasnya. Begitu juga apakah ia merupakan capaian (maqam) ataupun pencampakan (ahwal) dari Tuhan.
Dzu al-Nun al-Mishriy sebagai salah seorang tokoh sufi terkemuka yang muncul pada abad III H., dianggap sebagai pelopor dan peletak dasar konsep ma’rifah menjadi penting untuk kembali melacak pemikirannya. Bagaimana pandangan-pandangan tokoh sufistik ini dan tentu dengan biografinya, akan diulas dalam makalah ini.


Biografi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Faid Sauban Ibn Ibrahim Dzu al-Nun al-Mishry. Dia lahir di Ekhmim yang terletak di kawasan Mesir Hulu pada tahun 155 H/770 dan wafat di Jizah Mesir pada tahun 245 H.1 Beliau belajar pada banyak guru hingga sempat melakukan rihlah ilmiah secara intensif kebeberapa wilayah, seperti Arab dan Syiria. Tahun 214 H/829 M Beliau ditangkap atas tuduhan melakukan penyimpangan atau bid’ah (heresy) zindiq hingga beliau dikirim dan dipenjarakan di Baghdad yang oleh Khalifah Mutawakkil, walaupun kemudian dibebaskan dan dikembalikan ke Mesir. Bahkan Sang Khalifah menjadi muridnya
Dzu al-Nun termasuk dalam deretan ulama yang memiliki pengetahuan yang luas; baik bidang agama, seperti ilmu-ilmu syari’at ataupun ilmu-ilmu yang terkait dengan kehidupan duniawi hingga beliau dianggap sebagai deretan tokoh sufi masa awal. Bahkan dalam konteks Mesir, beliaulah sufi pertama. Pandangan ini mungkin didasarkan pada pemahaman bahwa Dzu al-Nun adalah orang yang banyak mensosialisaikan pandangan-pandangan sufistiknya dan juga melakukan sistematisasi cara menempuh jalan menuju Allah swt, dengan mengkombinasikan antara al-Anashir al-Ilmiyyah wa al-Amaliyyah, al-Syar’iyyah wa al-Haqiqiyyah, al-Tasawwufiyyah wa al-Falsafiyyah.
Menurut sejarah, orang-orang Mesir tidak mempercayai Dzu al-Nun sampai dia meninggal dunia. Dikisahkan bahwa pada malam kematiannya, tujuh puluh orang bermimpi melihat Rasulullah bersabda: “Aku datang menemui Dzu al-Nun wali Allah”. Dan sesudah kematiannya, kata-kata berikut tertulis dikeningnya. “Ini adalah kekasih Tuhan yang mati dalam mencintai Tuhan, dibunuh oleh Tuhan”. Pada saat penguburannya, burung-burung di angkasa berkumpul di atas kerandanya dan mengembangkan sayap-sayap mereka bersama-sama seakan-akan memayunginya. Pada saat melihat peristiwa ini semua orang Mesir merasa menyesali ketidak-adilan yang telah mereka perbuat terhadapnya16. Beliau wafat di Jizah dan dimakamkan di Qurafah Sughra pada tahun 245 H6.

C. Konsep Dzu Al-Nun Tentang Ma’rifah.
Secara umum tidak ditemukan tulisan yang komprehensif membahas tentang mazhab tasawuf beliau. Salah satu buku yang oleh Lois Massignon yang dikutip oleh Farid Wajdi, dianggap menyebutkan hal itu adalah kitab al-Ajaib yang diperkenalkan oleh Brokleman. Itupun merupakan lembaran-lembaran yang ditulis dari perkataan, hikmah-hikmah dan nasehat-nasehat beliau yang dinukilkan oleh murid-murid beliau, seperti al-Muhasibiy, Ali bin al-Muwaffiq, Yusuf bin Husain al-Razy dan juga ada yang diriwayatkan oleh al-Turmudzi.
Ada juga beberapa kitab yang mengemukakan kehidupan Dzu al-Nun yang disebutkan oleh Farid Wajdiy, seperti al-Risalah al-Qusyairiah, al-Thabaqat li al-Sya’raniy, al-Kawakib al-Durryyah li al-Manawiy, Hilyat al-Auliya’ li Abu Nuaim al-Ishbahaniy, al-Muta’arruf li al-Kalabadziy, al-Luma’ li al-Sarraji al-Thusi, Kasyf al-Mahjub li Hujwiriy dan kitab-kitab tasawuf lainnya, memberikan pandangan-pandangan yang berbeda-beda tentang Dzu al-Nun. Al-Ishbahaniy umpamanya menegaskan bahwa pemikiran tasawuf Dzu al-Nun tidak terlepas dari tema-tema dalam ilmu tasawuf dan filsafat, yang secara garis besar dapat dibagi pada tiga hal, yaitu :
a. al-Thariq ila Allah wa tahliiluhu ila ‘anashirihi al-‘Amaliyyah wa al-Ruhiyyah,
b. al-Ma’rifah dan
c. al-Mahabbah.
Tariqah ila Allah dapat dibagi pada empat hal, yaitu :
1. hubb al-Jalil: mencintai Tuhan.
2. bugd al-Qalil: membenci yang sedikit.
3. ittiba’ al-Tanzil: menuruti perintah yang diturunkan-Nya.
4. khauf al-Tahwil: takut berpaling dari jalan yang benar.
Ketidaktahuan seseorang tentang cara berjalan menuju Allah swt, maka orang itu tersebut termasuk dalam golongan orang yang rendah (Suplah) dimata Allah swt.Hal ini tergambar dalam ucapan beliau sebagai berikut :
من لا يعرف الطريق الى الله ولا يتعرفه.11

Al-Mahabbah menurut Dzu al-Nun adalah hubungan timbal-balik (mutabadilan) antara hamba dengan Tuhan yang dicintai. Seorang hamba hanya dapat diterima oleh Allah sekaligus mendapatkan cintanya apabila sang hamba adalah seorang yang sabar, syukur dan senantiasa dzikir kepada-Nya. Adapun bagi mereka yang lupa dan lalai dari mengingat-Nya, maka itu merupakan tanda bahwa Tuhan berpaling darinya.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan download selengkapnya...
Read More
Published Juni 20, 2010 by with 0 comment

Konsep Nur Muhammad Dan Insan Kamil

Kajian tentang haqiqat manusia (ma’rifat al-nafsi) merupakan obyek kajian yang menarik dan tidak kunjung selesai untuk dibicarakan bahkan diperdebatkan. Karena dengan akal yang dimiliki oleh manusia, berpotensi untuk mencari dan mengisi ruang-ruang yang kosong yang belum dijamah oleh manusia yang lain terhadap dirinya. Sehingga pembicaraan tentang manusia ini selalu menjadi dinamis mengikuti frame dan kondisi orang yang sedang berbicara.
Dalam diri manusia, terdapat dua potensi yang bergerak menopang manusia, dua potensi tersebut adalah jasmani dan rohani. Bila manusia ingin kontak langsung dengan Tuhannya, maka manusia menggunakan potensi rohaninya. Karena unsur Ilahiyah yang suci dalam diri manusia (Nur Muhammad) menjadi potensi yang dapat menghubungkan hamba dengan Tuhannya dalam mencapai kehidupan haqiqi dan abadi.
Unsur Ilahiyah merupakan substansi paling suci dalam diri manusia, karena ia berasal dari Tuahan. Jika unsur Ilahiyah tersebut dijadikan pedoman dalam menjalani kehudapan duniawi, maka manusia dapat meraih kehidupan sempurna, mulia dan tinggi di dunia dan di akhirat.
Oleh karena itu, kehidupan sufisme sering dijadikan pola kehidupan manusia guna meraih kehidupan manusia yang haqiqi di hadapan Tuhannya. Dalam hal ini, yang menjadi pembahasan dalam makalah ini, yakni konsep Nur Muhammad dan Insan al-Kamil yang beredar di kalangan sufi, khususnya pada zaman Abd. Karim al-Jili.

Biografi Singkat al-Jili
Nama lengkap al-Jili adalah Abd. Karim ibn Ibrahim ibn Abd. Al-Karim ibn Khalifah ibn Ahmad ibn Mahmud al-Jili. Namanya dinisbatkan dengan al-Jili karena ia berasal dari Jilan. Akan tetapi menurut Goldziher sebagaimana yang dikutip oleh Yunasril Ali, mengatakan bahwa penisbatan bukan pada Jilan, akan tetapi pada nama sebuah desa dalam distrik Bagdad.
Tahun kelahirannya adalah awal Muharram 767 H. di Bagdad bertepatan dengan 1365 M. ini disepakati oleh semua penulis yang meneliti riwayat hidup al-Jili. Dan tahun wafatnya 805 H/1402 M.
Sejak usia kanak-kanak ia dibawa orang tuanya berimigran ke Yaman karena situasi politik di Bagdan tidak aman, disanalah ia berguru berbagai disiplin ilmu agama. Tahun 790 H. ia berada di Kusyi, India. Ketika berkunjung ke India ini, al-Jili melihat tasawwuf falsafi Ibnu ‘Arabi dan beberapa aliran-aliran tarekat.
Pada akhir tahun 799 H. ia berkunjung ke Makkah dalam rangka menunaikan ibadah haji. Namun dalam kesempatan itu, ia sempat melakukan tukar pikiran dengan ulama di sana. Hal ini menandakan kepada kita bahwa ia mempunyai kecintaan kepada ilmu pengetahuan.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan download lengkapnya...
Read More
Published Mei 28, 2010 by with 0 comment

AL-GHAZALI ( Kritikan terhadap Para Filosof )

Al-Ghazali adalah seorang tokoh pemikir Islam dan sekaligus tokoh pemikir kemanusiaan secara umum. Pada sisi lain, ia adalah seorang kutub tasawuf, pejuang spritual dan tokoh pendidikan serta tokoh dakwah. Di sisi lain pula, ia termasuk filosof, terlihat dengan banyaknya karya-karya dan tulisannya di bidang filsafat.
Al-Ghazali banyak memberikan kritikan terhadap pemikir filosof yang lain, maka sebagian ahli dalam sejarah menganggap bahwa al-Ghazali bukan seorang filosof, bahkan ada yang menuduh bahwa yang menyebabkan stagnasi pemikiran Islam adalah akibat dari pemikiran al-Ghazali. Namun, menurut Nucholish Madjid bahwa apabila melihat kitab karya al-Ghazali, yaitu Maq±sid al-Falasifah merupakan salah satu bukti nyata bahwa ia adalah seorang filosof, karena pemahaman yang mendalam terhadap filsafat. Sedangkan kitab yang berjudul Tah±fut al-Falasifah adalah bukti lain atas penguasaannya terhadap ilmu filsafat. Dari kitab ini disinyalir mampu mewarnai kehidupan filsafat di dunia Islam dan menentukan jalannya sejarah pemikiran umat Islam berikutnya.

Berdasarkan latar belakang di atas, dalam makalah ini penulis akan memaparkan pemikiran al-Ghazali sebagai seorang pemikir yang telah mengkritik para filosof dalam tiga masalah, yakni:
1. Qadim-nya alam.
2. Kebangkitan jasmani.
3. Pengetahuan Tuhan.

Catatan: Download Selengkapnya...
Read More
Published Mei 17, 2010 by with 0 comment

Al-GHAZALI (Corak Tasawuf dan Pengaruhnya dalam Tasawuf)

A.Latar Belakang
Islam sebagai sistim yang lengkap dan utuh memberi tempat bagi penghayatan keagamaan dan esoteris sekaligus. Meskipun Islam menempatkan prinsip keseimbangan kedua bentuk penghayatan tersebut, namun dalam kenyataannya penekanan pada salah satu bentuk penghayatan itu sulit dihindarkan. Hal demikian tercatat dalam sejarah pernah menjadi pemicu timbulnya polemik antara sufi dan ahli syari’at.
Sejak munculnya doktrin fana dan ittihad, terjadinya pergeseran tujuan akhir dari kehidupan spiritual. Kalau mulanya tasawuf bertujuan hanya untuk mencintai dan selalu dekat dengan-Nya, sehingga dapat berkomunikasi langsung, tujuan itu telah meningkat pada penyatuan diri dengan Tuhan. Konsep ini berangkat dari paradigma, bahwa manusia secara biologis adalah jenis makhluk yang mampu melakukan transformasi melalui mi’raj spiritual kealam Ilahiyah. Bersamaan dengan hal tersebut, terjadinya pula pro dan kontra terhadap konsepsi al-ittihad yang menjadi salah satu sebab terjadinya konflik dalam dunia pemikiran Islam, baik interen sufisme maupun dengan teolog dan fuqaha.
Akibat dari perbenturan pemikiran itu, maka sekitar abad III H. tampil al-Junaid (w. 297 H.) menawarkan konsep-konsep tasawuf yang kompromistis antara sufisme dan ortodoksi. Tujuan gerakan ini adalah untuk mengintegrasikan antara kesadaran mistik dengan syariat Islam.
Al-Gazali pada awalnya adalah seorang pemikir Islam (mutakallimin dan filosof), ketika suasana pemikiran di dunia Islam memperlihatkan perkembangan dan semangat keagamaan yang tinggi. sejarah hidupnya menunjukkan bahwa ia dalam usaha mencapai kebenaran yang diyakininya, menempuh proses yang panjang dengan jalan mempelajari seluruh sistem pemahaman keagamaan yang ada pada masanya.

PEMBAHASAN
A.Riwayat Hidup al-Gazali (1058-1111 M)
Sebelum memasuki pembahasan pokok, maka terlebih dahulu penulis akan menguraikan riwayat hidup al-Gazali. Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Gazali diberi gelar “Hujjatul Islam”. Lahir pada tahun 1058 M. di Thus provinsi Khurasan wilayah Persi atau Iran, lebih dikenal dengan nama Imam al-Gazali. Muhammad ayah al-Gazali sebagai pengusaha kecil, yang keberhasilan kecil menyebabkan keluarganya, namun dia seorang pecinta ilmu yang mempunyai cita-cita besar. Muhammad senantiasa memohon kepada Allah agar di karunia anak-anak yang berpengetahuan dan ahli ibadah. Dia pun sering berkunjung dan berkhidmat kepada ulama. Ia telah meninggal ketika ketika al-Gazali dan saudaranya, Ahmad masih kecil. Sebelum akhir hayatnya, ayahnya telah menitipkan dan mempercayakan kedua putranya itu kepada salah seorang sahabatnya, yaitu seorang sufi yang baik hati untuk mendidik mereka. selanjutnya kedua anak tersebut mendapatkan bimbingan berbagai cabang ilmu khususnya tentang dasar-dasar ilmu tasawuf.
Ketika sufi yang mengasuh al-Gazali dan sudaranya tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan keduanya, ia menganjurkan agar mereka dimasukkan ke sekolah untuk memperoleh, selain ilmu pengetahuan, santunan kehidupan sebagaimana lazimnya waktu itu. Antara tahun 465-470 H. al-Gazali belajar fikih dan ilmu lainnya kepada Ahmad Radzakani di Thus dan selama 3 tahun ditemapt kelahiranya ini ia mengkaji ulang pelajarannya di Jurjan sambil belajar tasawuf kepada Yusuf al-Nasary (w.487 H), pada tahun 473 H. ia pergi ke Naisaburi untuk belajar di Madrasah al-Nizamiyah. Di sinilah al-Gazali berkenalan dengan al-Juwaini, sebagai tenaga pengajar, ia kemudian belajar ilmu kalam dan ilmu mantiq. Menurut Abd. Gaffar bin Ismail al-Farisi, al-Gazali menjadi pelajar yang paling pintar di zamanya, dan ia tetap setia kepada gurnuya sampai wafat.
Catatan:
Download Selengkapnya...
Read More
Published Maret 20, 2010 by with 0 comment

Abu Yasid Al Bustami

Nama lengkapnya adalah Abu Yasid Thaifur bin Isa bin Surusyan Al-Bustami, ia lahir di daerah Bustan (Persia) yang terletak di propinsi Qumis pada tahun 188 H/804 M, nama kecilnya ialah Taifur. Kakeknya bernama Bostam, Abu yazid adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Yang tertua bernama Surusyan, seorang penganut agama zoroaster, kemedian memeluk agama islam di Adam kemudian Taifur (Abu Yazid) dan yang mudah bernama Ali. Ketiganya tergolong orang-orang yang ahli zuhud dan ahli ibadah. Hanya saja diantara ketiganya Abu yazid yang tinggi tingkatannya.
Sejak dalam kandungan konon kabarnya Abu Yazid telah memiliki kelainan, Ibunya berkata bahwa ketika dalam perutnya, Abu yazid akan memberontak sehingga ibunya akan muntah kalau menyantap makanan yang diragukan kahalalannya. Sewktu mencapai usia remaja, Abu yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Di suatu ketika gurunya membacakan ayat Al-qur’an surah luqman yang artinya:”barterimah kasihlah kepada aku dan kepada kedua orang tuamu.” Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid, ia kemudian berhenti belajar dan pulang untuk menemui ibunya. Sikapnya ini menggambarkan bahwa ia selalu berusaha memenuhi setiap panggilan Allah.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorng sufi memakan waktu puluhan tahun. Sebelum menjadi seorang sufi, ia telah manjadi fakih dari mazhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang tarkenal adalah Abu Ali As-Sindi ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat dan ilmu lainnya. Dalam menjalani kehidupan aebagai seorang sufi selama 13 tahun, Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, hanya dengan tidur makan dan minum yang sedikit saja. Abu Yazid termasuk pembesar sufi di Baghdad pada abad ketiga hijriah. Ia memiliki sejarah kehidupan yang mengagumkan dan prilaku yang kadang-kadang sulit untuk di terima akal. Ini semua tidak terlepas dari peran orang tuanya yang sejak dini mengarahkan Abu Yazid untuk mendalami ilmu-ilmu Agama. Dalam sejarah di katakan bahwa ia pernah berguru kepada 113 orang alim.
Abu Yazid maninggalkan Bistam, merantau dari suatu negeri ke negeri lain selama 30 tahun dan melakukan disiplin diri dengan berpuasa disiang hari dan bertirakat sepanjang malam. Dalam pengembaraannya Abu Yazid selalu melakukan mujahadah (peniadaan nafsu diri) kepada Allah dan selama itu pula menurut pengakuannya tidak ada yang lebih sulit dari pada mempelajari ilmu teologi dan mengikuti ajaran-ajarannya.
Di riwayatkan bahwa Abu Yazid berkata”aku pergi keMekkah dan melihat sebuah rumah (Ka’bah) berdiri sendiri aku berkata” hajku tidak diterima karena aku telah melihat banyak batu semacam ini, aku pergi lagi lalu aku melihat rumah itu dan juga tuhannya rumah itu, aku berkata ini bukan peng-esaan (tauhid) yang hakiki. Aku pergi ketiga kalinya dan hanya melihat Tuhannya, suara dalam hatiku berkata,” wahai Abu Yazid, jika engkau tidak melihat dirimu sendiri engkau tidak akan menjadi seorang musyrik, walaupun engkaun melihat dirimu sendiri maka engkau adalah seorang musyrik, walaupun negkau buta terhadap jagad raya. Maka dari itu aku bertaubat lagi dan taubatku yang kali ini adalah bertaubat dari memandang wujudku sendiri. Dalam perjalanannya keMekkah memakan waktu 12 tahun penuh. Hal ini karena setiap kali ia berjumpa dengan seorang pengkhutbah. Yang memberikan pengajaran, Abu Yazid segera membantangkan sejadahnya dan melakukan shalat sunnat.
Pada tahun berikutnya ia menunaikan ibadah haji, ia mengenakan pakaian yang berbeda untuk setiap tahap perjalanannya sejak mulai menempuh padang pasir. Disebuah kota dalam perjalanan, ada serombongan besar yang telah menjadi pasirnya ketika ia meninggalkan Mekkah, banyak orang yang mengikutinya, dan ketika Abu Yazid bertanya kepada mereka, mereka menjawab bahwa mereka igin berjalan bersamana dan menjadi pengikutnya. Melihat kenyataan itu Abu Yazid memohon kepada Allah, agar Allah tidak menutup penglihatan hamba-hamba-Nya karena dirinya dan agar dirinya tidak mejadi penghalang bai mereka, kemudian Abu Yazid melakukan shalat al-subh dan setelah selesai tiba-tiba dari mulutnya keluar ungkapan yang ganjil, ia berkata “sesungguhnya aku adalah Tuhan, tiada tuhan selain aku dan karena itu sembahlah aku!” mendengar ucapan Abu Yazid yang demikian itu. Kemudian orang-orang tersebut merasa kesal dan menganggap bahwa Abu Yazid adalah ornag gila, oleh karena itu mereka meninggalkan Abu Yazid, meskipun demikian kejadian itu sama sekali tidak menggoyahkan niat Abu Yazid untuk meneruskan perjalanannya menujuh Madinah.
Setalah kembali dari Madinah ia pulang keBisham untuk menemui Ibunya, sesampinya disana disaat tengah malam ia mendengar ibunya berdoa, Abu Yazid menangis lalu mengetuk pintu, ibunya bertanya siapa itu, kemudian ia menjawab anakmu yang terbuang, lalu ibunya membuka pintu dan matanya menjadi kabur, ibunya berkata kepada Abu Yazid “Tahukah engkau mengapa mataku menjadi kabur, karena aku telah sedemkian banyaknya menteskan air mata sejak berpisah denganmu, punggungku telah bengkok karena beban duka kutangguhkan itu.”
Abu Yazid merupakan tokoh sufi yang membawa ajaran-ajaran yang berbeda dengan ajaran tasawuf sebelumnya. Ajaran yang di bawanya banyak di tentang oleh ulama fiqh dan kalam, yang menjadi sebab ia keluar masuk penjara. Meskipun demikian ia memperolah banyak pengikut percaya kepada ajarannya. Mereka inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan Tayfuriyah suatu kelompok yang dinisbatkan pada pemimpinnya yaitu Taifur Abu Yazid Al-Bustami. Ia juga merwayatkan sebagai hadits-hadits Nabi SAW dan ia mengikuti mazhab Abu Hanifah atau imam Hanafi.

AJARAN TASAWUF ABU YAZID AL-BUSTAMI
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah Al-fana, Al-baqa dan Al-ittihad. Sebagai mana di ketahui Abu Yazid tidak menuliskan ajaran-ajaran tasawufnya dalam buku tertentu yang dapat digunakan sebagai sumber primer bagi sebuah penelitian, ajaran-ajarannya banyak di tulis oleh para pengikutnya.
al-fana dan al-baqa.
Abu Yazid adalah sufi yang pertamakali memperkenalkan paham al-fana dan al-baqa dalam tasawuf. Ia senantiasa dekat dengan Tuhan. Abu Yazid mencari-cari jalan untuk dekat dangan Tuhan. Ia berkata “aku bermimpi melihat tuhan, akupun bertanya” Tuhanku bagaimana jalan untuk sampai kepada-Mu? Ia menjawab tinggalkanlah dirimu dan kemarilah!.
Dari situlah pertama kali di kenalkan al-fana, dari segi bahasa fana berasal dari kata faniyah yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana adakalanya di artikan sebagai keadaan moral yang luhur. Menurut Abu Bakar Al-kalabadzi. Fana adalah hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu.
Pencapaian Abu Yazid ketahap fana di capai setelah meninggalkan segala keinginan kepada Allah SWT bahwa ia telah berada dekat dengan Tuhan.
Adapun baqa berasal dari kata bagiah, arti dari segi bahasa adalah tetap. Sedangkan berdasarkan istilah taswuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Paham baqa tidak dapat dipisahkan dengan paham fana, karena keduanya merupakan paham yang berpasangan. Ketika seorang sufi mengalami fana, ketika itu pula ia mengalami baqa, menurut Harun Nasution, paham al fana dan al baqa Abu Yazid tersimpul dalam kata-katanya:
اَعْرِفُهُ بِي حَتَّي فَنَيْتُ ثُمَّ عَرَ فْتُهُ بِهِ فَحَيَّيْتُ
Artinya: “aku tahu melalui diriku, sehingga aku mati, kemudian aku tahu
Kepada-Nya melalui dari-Nya maka akupun hidup.”
Dari ungkapan tersebut tersirat suatu pemahaman bahwa ketika sedang mengalami al-fana, Abu Yazid tidak menyadari sesuatu (sekan-akan ia telah mati). Akan tetapi, pada saat itu juga ia merasa hidup dengan Allah dan hanya Allah yang ada dalam kesadarannya. Ketika Abu Yazid mulai berada di hadirat Tuhan, dalam pengetahuannya ia merasa bahwa Tuhan adalah dia dan dia Tuhan dan pada seperti inilah keluar kata-kata di mulut Abu Yazid ucapan-ucapan yang belum pernah di dengar dari sufi sebelumnya, di antara ucapannya misalnya: “aku tidak heran terhadap cintaku pada-Mu karena aku hamba yang hina, tetapi aku heran terhadap cinta-Mu padaku karena engkau adalah raja yang mahakuasa.”
Kondisi dan macam ini tidak terjadi kecuali jika al-arif (sufi) telah tertarik secara menyeluruh pada Allah sehingga ia tidak menyaksikan selain Allah. Kesadaran akan pribadinya telah hilang,ia tidak menyadari lagi akan jasad kasarnya sebagai manusia karena kesadarannya telah menyatu dengan khadirat Allah (kehendak Allah), bukan menyatu dangan wujud-Nyan.
Dengan demikian, dapat di ambil pernyataan akhir bahwa al-fana menurut Abu Yazid adalah sirnanya kesadaran akan diri dan alam sekitarnya karena kesadarannya telah menyatu dengan kehendak Allah, sementara al-baqa merupakan perasaan tahap hidup terus dengan Allah setelah terjadinya al-fana.
Al Ittihad
Paham al ittihad dalam istilah Abu Yasid di sebut dengan tajrid-al fana fil al-tauhid, yaitu penyatuan dengan Allah tanpa di perantarai oleh suatu apapun, ungkapan Abu Yasid tantang peristiwa mi’rajnya berikut akan memperjelas pengertian ini. Dia mengatakan : “ pada suatu ketika Tuhan menaikkan dan menampakkan aku di hadirat-Nya, ia berkata padaku “ wahai Abu Yasid makhlukku ingin melihat engkau, aku menjawab hiasilah aku dengan ke-Esaan-Mu, dan dandani aku dengan ke-akuan-Mu, dan angkatlah aku dengan ke-esaan-Mu sehingga kalau makhlukmu memandangku mereka akan berkata, kami telah menyaksikanmu, tapi sebenarnya yang mereka lihat adalah engkau dan aku tidak ada di sana.
Ungkapan Abu Yasid ini merupakan ilustrasi proses terjadinya al Ittihad, dalam hal al-ittihad, seseorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang mencintai dengan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya.
Harun Nasution memaparkan bahwa ittihad adalah suatu tingkatan ketika seorang sufi telah merasa bersatu dirinya dengan tuhan. Bahwa dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud sesungguhnya ada dua wujud, maka dalam ittihad dapat terjadi pertukaran antara yang mencintai dan yang dicintai atau tegasnya antara sufi dengan tuhan.
Abu Yasid pernah berkata tatkala dalam tahapan ittihad artinya : Tuhan berkata, semua mereka kecuali engkau adalah makhluk, akupun berkata, engkau adalah aku dan aku adalah engkau.
Dalam riwayat : suatu ketika seseorang melewati rumahnya Abu Yasid dan ia mengetuk pintu, abu yasid bertanya siapa yang engkau cari ? orang itu menjawab Abu Yasid. Abu Yasid berkata, “ pergilah dirumah ini tidak ada Abu Yasid kecuali tuhan yang maha kuasa dan maha tinggi.
Dari ungkapan ungkapan seperti itulah yang membuat Abu Yasid selalu keluar masuk penjara, karena perkataannya yang membingungkan orang orang awam.

Catatan:
Download lengkapnya...
Read More